Puluhan Pedemo Datangi KPU DIY atas Keputusan MK

DATANGI: Pedemo saat mengungkapkan aspirasinya keputusan MK di KPU DIY, Rabu (24/4/24). (RIZKY ADRI KURNIADHANI/JOGLO JOGJA)

YOGYAKARTA, Joglo Jogja– Puluhan pedemo mendatangi Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (24/4/24). Kegiatan itu dilakukan sebagai bentuk ketidakpuasan atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kurang mewakili masyarakat.

Salah satu orator, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya sangat kecewa dengan keputusan MK, dengan tidak mengakui adanya nepotisme dalam pemilu lalu. “Bila ada tindakan dari pemerintah atau negara yang menguntungkan kerabat,  maka itulah praktik nepotisme. Saat era reformasi, itu dipersoalkan saat era Sueharto yang mengutamakan anaknya untuk menguasai sumber daya negara, termasuk BUMN,” ungkapnya

Ia menambahkan, kecurangan pemilu ini terjadi bukan terjadi saat melakukan kalkulasi hasil pemilu, namun, proses sebelum pemilu dan saat pemilu berlangsung. Misalnya terjadinya perubahan peraturan syarat usia presiden dan wakil presiden tidak boleh terjadi saat pemilu berjalan.

“Selanjutnya penggunaan sumber daya negara, di mana presiden menggunakan bantuan sosial yang seolah datang dari dirinya. Hal itu diperkuat dengan menteri-menterinya yang secara gamblang mendukung anak presiden,” tegasnya.

Selain itu, ada juga pengerahan aparat pengamanan yang terkesan tidak netral, di mana beberapa guru besar diintimidasi oleh pihak kepolisian. Malahan mereka diminta untuk memuji pemerintah. “Saya kurang paham kenapa mayoritas hakim di MK, termasuk Suhartoyo yang sebelumnya mengikuti pandangan para guru besar, ternyata justru memiliki pandangan yang berbeda,” jelasnya.

Dalam keputusan, banyak yang berharap kepada Suhartoyo, di mana saat keputusannya pada tahun 1990 memutuskan dissenting of opinion. Akan tetapi keputusan saat ini malah mengecewakan masyarakat.

“Saya lebih setuju dengan sidang pendapat rakyat yang digelar oleh guru besar yang menyatakan, pemilu yang peraturannya diubah saat tahapan dimulai itu tindakan yang terlarang. Presiden dianggap melanggar konstitusi karena cawe-cawe proses sebelum, saat, dan setelah pemilu. Presiden juga dianggap gagal menegakkan pemilu yang adil karena mendukung praktik nepotisme,” pungkasnya. (riz/abd)