Opini  

Cukai MBDK untuk Mengurangi Konsumsi Minuman Manis dan Membiasakan Pola Hidup Sehat

Vania Intana Khosyi

Oleh: Vania Intana Khosyi, S.Kep.
Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro

KINI fenomena minuman manis makin kuat dan menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda. Minuman manis yang dingin banyak disukai masyarakat sebagai penyegar di kala panasnya cuaca.

Anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan. Sebab konsumsi minuman berpemanis secara berlebih dinilai memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.

Kementerian Kesehatan merekomendasikan batas konsumsi gula per hari per orang adalah 10% dari total energi (200 kkal). Jumlah tersebut setara dengan gula 4 sendok makan/orang/hari (50 gram/orang/hari).

Namun kandungan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang terjual di pasaran tentunya lebih dari porsi yang seharusnya ditentukan. Sehingga minuman berpemanis ini dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit.

Diabetes dan obesitas sering muncul dalam kasus masyarakat yang sering mengonsumsi minuman berpemanis ini. Meskipun obesitas bukan merupakan penyakit yang mematikan, namun obesitas dapat meningkatkan risiko lebih tinggi untuk terjangkit penyakit lain seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah).

Di zaman sekarang bukan hanya orang tua yang menderita penyakit tersebut, namun anak-anak usianya masih di bawah umur juga banyak yang sudah mengalaminya. Salah satunya dikarenakan kebiasaan masyarakat yang memilih minuman manis dari pada minum air putih.

Dampak dari masyarakat yang sering mengonsumsi minuman berpemanis adalah bisa menyebabkan naiknya tingkat kematian pada penyakit tidak menular (PTM). Sehingga untuk membantu beban keuangan dalam penanganan penyakit tersebut, penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan seharusnya segera dilaksanakan. Di negara luar, kebijakan ini terbukt efektif menurunkan tingkat konsumsi masyarakat pada minuman berpemanis tersebut.

Pemerintah Indonesia sendiri telah meluncurkan kebijakan pengenaan tarif cukai MBDK pada tahun 2024 yang akan membantu mengurangi konsumsi gula masyarakat dan menekan biaya pengobatan penyakit akibat konsumsi gula berlebih.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.

Pada hal ini, beberapa karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Menimbang dari aturan di atas, pemerintah memutuskan bahwa minuman berpemanis memiliki karakteristik sebagai barang cukai. Namun apakah implementasi untuk menerapkan cukai pada minuman manis dapat mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang sudah menyukai minuman manis?

Pengenaan cukai menjadi usulan yang efektif dalam mencegah penyakit yang membahayakan bagi diri kita. Upaya yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh gula yaitu sosialisasi untuk memberikan pengertian edukasi tentang gizi seimbang dan aktivitas fisik serta pemberian label pada pangan maupun minuman dalam kemasan sangat dibutuhkan masyarakat. Bukan mengonsumsi suatu obat untuk melawan gula, namun pola hidup kita yang seharusnya diubah. (*)