Pati  

Petani Pundenrejo Berjalan 30 Kilometer Minta Tanah Nenek Moyangnya

AKSI: Puluhan petani Desa Pundenrejo berjalan sejauh 30 kilometer menuju Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Pati untuk menuntut keadilan, Jumat (31/5/2024). (LUTHFI MAJID/JOGLO JATENG)

PATI, Joglo Jateng – Puluhan petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati menggelar aksi Laku Melaku atau jalan kaki sejauh 30 kilometer dari desanya menuju Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Pati. Mereka berjalan mulai pukul 2 dinihari hingga jam 8 pagi dengan membawa obor sebagai simbol perjuangan sambil melantunkan sholawat dan tembang-tembang perjuangan di tengah larut malam.

Aksi laku melaku ini digelar untuk menuntut penyelesaian konflik lahan antara petani Pundenrejo melawan PT Laju Perdana Indah atau PG Pakis. Mengingat konflik ini sudah terjadi selama puluhan tahun lamanya.

“Tanah ini tinggalan nenek moyang kami. Jadi harus kembali ke petani. Kami menggarap 20 tahun tapi sekarang di rampas oleh PT tapi saya tidak bisa melawan. Saya kalah, saya mau bertindak saya takut, ada aparat preman semua menghadang di sana,” ujar salah satu Petani Pundenrejo, Sumiati (53) sambil meneteskan air mata.

Sumiati dan petani Pundenrejo lainnya mengeluh tak memiliki lahan untuk digarap akibat adanya konflik ini. Ia pun meminta agar tanah yang nenek moyangnya dikembalikan.

“Sekarang petani itu susah, petani tidak punya lahan, pekerjaan serabutan. Kalau tidak ada nganggur di rumah, petani itu gelisah, tidak ada makan yang dimakan. Jadi minta kepada dulur supaya dulur dulur mau membantu petani Pundenrejo,” pintanya.

Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Dhika menilai pihak BPN Pati melalukan pemberian akan konflik tersebut. Pasalnya, kata dia, tanah itu saat ini masih digarap atau ditanami tebu oleh PG Pakis.

“PG Pakis melakukan penanaman tebu di lahan yang berstatus HGB, padahal berdasarkan Pasal 86 Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021 izin HGB untuk sektor non pertanian. Sehingga ada penyalahgunaan HGB oleh PG Pakis. Selain itu  secara kesejarahan penguasaan lahan, tanah tersebut merupakan tanah garapan petani Pundenrejo,” jelas dia.

Oleh sebab itu, ia mendorong agar tanah yang saat ini menjadi konflik itu dinyatakan sebagai tanah status konflik. Dengan kata lain, lahan konflik di Pundenrejo yang memiliki 7 hektar lebih itu tidak boleh dikelola.

“Sehingga tanah itu tidak dapat diajukan izin baru. Terutama dari perusahaan. Pasal 3 ayat 33 bahwa yang punya prioritas lahan adalah masyarakat. Jadi masyarakat yang harus punya hak itu sehingga tidak menitikberatkan terhadap korporasi. Untuk lahan 7,3 hektare. Kondisinya di tanami tebu. Warga di tahun 2020 pengrusakan tanaman oleh PT laju perdana indah dengan orang tidak di kenal,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala BPN Pati, Jaka Purnomo mengungkapkan, pihaknya menerima apa yang menjadi tuntutan petani Pundenrejo. Namun BPN Pati tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan atau menyelesaikan perkara ini.

“Kantor pertanahan menerima yang menjadi tuntutan dan kantor pertanahan dibatasi kewenangan. Tetapi paling tidak disampaikan yang bersangkutan ini menjadi perhatian kami. Tentu menjadi pertimbangan di proses lain,” sambungnya.

Jaka menyebut penyelesaian konflik merupakan kewenangan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ART/BPN). Sehingga ia akan melaporkan terkait konflik ini ke pimpinan.

“Pembatalan sertifikat itu menjadi kewenangan pimpinan kami uang lebih tinggi. Bukan di kantor pertanahan. Kantor pertanahan tidak punya kewenangan membatalkan sertifikat. Kita boleh tanda tangan, pembatalan itu di Kanwil (Kantor wilayah) maupun di kementerian. Tapi kita Terima yang disampaikan oleh masyarakat, kita akomodir menjadi layanan berikutnya. Saya kira itu. Komitmen kita yang disampaikan kita akan laporkan,” pungkasnya. (lut/fat)