20 Alat Takar Hujan akan Diterapkan di Semarang

AKTIVITAS: Launching alat hasil penelitian BRIN, belum lama ini. (HUMAS/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akan menerapkan alat pendeteksi banjir dan tanah longsor di 20 titik wilayah di Kota Semarang. Salah satu alat yang dimaksud yakni Modifikasi Alat Takar Hujan Sementara (ModAthus).

Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Anang Setiawan Ahmadi mengatakan, alat ini digunakan untuk mitigasi dini dalam pencegahan longsor dan banjir. Yakni dengan mengimplementasikan hasil penelitian BRIN.

“Ini follow up, tindak lanjut dari kolaborasi. Hari ini kami launching hasil kerja sama riset dan inovasi mendukung kebijakan Pemkot Semarang. Salah satunya BRIN mendukung dari salah satu sisi, yaitu lingkungan yang berbasis industri 5.0,” ucapnya saat dikonfirmasi Joglo Jateng, Sabtu (1/6/2024).

Sementara itu, Koordinator Tim Peneliti DAS BRIN, Hunggul Yudono menyampaikan, dengan riset aksi partisipatif, pihaknya berupaya melibatkan semua pihak. Termasuk mahasiswa dan Pemerintah Kota Semarang.

“Tadi ada pembagian alat takar hujan. Selama ini kami menganalisis banjir tidak didasarkan pada informasi hujan yang akurat, karena alatnya terbatas dan kurang akurat,” terangnya.

BRIN, kata dia, tengah mengembangkan instrumen deteksi banjir dengan cara meletakkan alat takar sederhana. Alat itu telah ditempatkan di empat sekolah dasar (SD) di Kota Semarang.

“Kenapa di SD? Selain menghasilkan data, kita juga sekaligus bisa membina pengetahuan dan kesadaran anak-anak mengenai bencana sedini mungkin. Sehingga anak-anak bisa tahu, kalau hujan besar dampaknya banjir, juga daerah berpotensi longsor, sehingga harus waspada,” jelasnya.

Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang cepat, kata Hunggul, BRIN melakukan respons cepat dengan membuat alat berbasis IT. Hal ini agar alat tersebut bisa memberikan peringatan dini terhadap adanya banjir maupun longsor. Untuk analisis longsor, BRIN mendeteksi tingkat kejenuhan tanah akibat curah hujan.

“Selama ini orang lihat potensi longsor hanya dari gerakan tanah. Dengan alat berbasis sensor ini, bisa menganalisis kelembaban tanah. Longsor itu kan disebabkan dari tanah jenuh akibat hujan berhari-hari, kemudian tanah bergerak,” paparnya.

Menurutnya, mayoritas orang menduga longsor hanya bisa dilihat dari dari gerakan tanah. Namun jika baru dilihat saat tanah mulai bergerak, waktu longsor terjadi bisa terlalu cepat. Sehingga informasi untuk antisipasi bisa terlambat untuk disebarkan.

“Tapi kami melihat dari tingkat kejenuhan tanah. Saat dalam kondisi itu, akan ada peringatan agar dilakukan evakuasi,” tutur Hunggul.

Direncanakan, pihaknya menempatkan ModAthus ini di 20 titik SD di Kota Semarang. Ia menilai, penerapan alat ini cukup bagus apabila semakin banyak digunakan.

“Namun kami menemukan 20 titik yang lokasinya mewakili kebutuhan curah hujan. Hari ini baru 4, selanjutnya akan menyusul secara bertahap,” kata dia. (int/adf)