BI Jateng: PHK Masif di Industri TPT dan Alas Kaki Akibat Kesulitan Bahan Baku dan Penurunan Permintaan

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah, Ndari Surjaningsih
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah, Ndari Surjaningsih. (LU'LUIL MAKNUN/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Kantor Bank Indonesia Jawa Tengah turut berkomentar dengan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di Jateng. Penyebabnya dinilai karena kesulitan dari sejumlah perusahaan untuk memperoleh bahan baku.

Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Ndari Surjaningsih menyampaikan bahwa badai PHK banyak terjadi pada perusahaan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki. Ia menyebut penyumbang ekspor utama di Jateng adalah TPT dan alas kaki. Dalam perkembangannya pada tahun 2023 ekspor ke Eropa turun 24 persen, begitu pula dengan Amerika juga mengalami penurunan.

“Sehingga penjualan mereka mengalami perlambatan,” ucap Ndari sapaan akrabnya, belum lama ini.

Selain itu, TPT juga mengalami kesulitan memperoleh bahan baku untuk produksi. Menurutnya, produsen alas kaki di Indonesia masih melakukan impor, sedangkan kebijakan pemerintah yang membatasi impor mempersulit industri TPT.

“Ada kebijakan pemerintah terkait dengan impor, mengakibatkan produsen lokal yang memproduksi TPT kesulitan memeprolah bahan baku impor dari luar. Sehingga dia butuh impor tapi ada kendala mendatangkan bahan bakunya. Di sisi lain ada impor ilegal yang masuk,” katanya.

Ia menambahkan, kebanyakan PHK dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki tidak terlepas dari penurunan kinerja TPT akibat penurunan permintaan dari buyer. Penyebabnya karena kondisi global yang belum pulih serta masalah geopolitik. Yakni perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.

“Kondisi global kan belum pulih, bisa ditandai dengan pertumbuhan ekonomi mereka yang belum bisa lebih cepat. Ada juga di beberapa negara yang laju ekonomi masih lambat,” jelasnya.

Ndari mengaku di beberapa negara inflasi masih tinggi, terutama di negara buyer. Sehingga peningkatan permintaan masyarakat terhadap produk tersebut tidak mengalami peningkatan. “Ibaratnya mereka sudah offside. Sehingga kebijakan moneter masih ketat. Sehingga ada penurunan permintaan,” tandasnya. (luk/gih)