BANTUL, Joglo Jogja – Dalam menjaga independensi diperlukan perubahan dalam sistem seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar UMY Prof. Iwan Satriawan saat orasi ilmiah akhir pekan Minggu (4/8/24).
Usulan ini muncul menyusul banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh 14 hakim MK antara 2010 hingga 2023. Guru Besar UMY ini menyoroti perlunya rekonstruksi sistem seleksi hakim MK untuk mengatasi konflik kepentingan dan menjaga kemandirian para hakim. Hal ini merupakan respons terhadap pertanyaan tentang pengaruh politik dalam pengambilan keputusan penting.
“Dalam penanganan ini, terdapat lima model sistem seleksi yang dapat diadopsi oleh Presiden dan DPR. Salah satunya adalah Open Centralistic Model, dimana seluruh kandidat hakim MK harus melalui uji kelayakan oleh DPR,” ungkapnya.
Setelah hasil uji diterima, tiga lembaga pengusul dapat mengajukan tiga nama kandidat kepada Presiden untuk diangkat sebagai hakim MK. Menurutnya, model ini memiliki keunggulan berupa proses uji yang terpusat dan terbuka untuk umum, memungkinkan partisipasi publik dalam mengevaluasi rekam jejak dan kualitas kandidat.
Partisipasi publik dianggap penting untuk menjaga transparansi dan integritas proses seleksi. Juga memastikan integritas dan kapasitas calon hakim. “Pembatasan calon hakim dari kalangan politisi dan penguatan kode etik hakim MK. Ini bertujuan meminimalkan pelanggaran etik dan pidana, mengingat sebagian besar pelanggaran dilakukan oleh hakim non-karir,” tuturnya.
Dia menegaskan, meski pengaturan kode etik sudah cukup, penegakan hukumnya masih lemah karena pengawasan internal yang terbatas. “Memberikan keleluasaan yang besar kepada hakim MK tanpa pengawasan ketat. Seharusnya, semakin besar kekuasaan, semakin ketat pengawasannya,” ujarnya.
Pihaknya turut menekankan pentingnya komitmen dari para hakim MK, pimpinan negara seperti Presiden dan DPR, serta masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja hakim MK. “Hakim MK harus memiliki sikap negarawan yang patuh pada prinsip konstitusi dan menjaga independensi lembaga peradilan,” tuturnya. (suf/ree)