YOGYAKARTA, Joglo Jateng – Komisi E DPRD Jateng pada Rabu (21/8), berkesempatan mengunjungi Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TPAKK) “Rekso Dyah Utami” milik Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Kunjungan itu bertujuan untuk membahas sekaligus meningkatkan upaya penanganan kekerasan pada perempuan dan anak yang sedang marak terjadi.
Ketua Komisi E DPRD Jateng Abdul Hamid mengatakan, dalam sejumlah kasus, perempuan dan anak menjadi pihak yang rentan terhadap kekerasan. Sehingga kasus itu dapat mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Saat ini kasus perundungan, tindakan persekusi yang terjadi melalui media sosial juga sedang banyak terjadi.
“Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan supaya dapat menghadirkan materi pemenuhan akan informasi yang tetap pada jalurnya dan bagaimana cara penanganan dan recovery yang dihadirkan kepada korban. Baik itu dari sisi psikologis dan juga sisi perlindungan hukum,“ terangnya.
Sementara itu, Koor Bid Kesehatan P2TPAKK “Rekso Dyah Utami” Prov. DI Yogyakarta Dr Yuliaty Iskak menerangkan, Pemprov DIY diamanatkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2019 untuk membentuk sebuah lembaga nonstructural. Nantinya mereka akan diberi tugas untuk menyediakan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di wilayah DIY.
“Sesuai amanat Pergub itu, dibentuklah Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Rekso Dyah Utami. Untuk anggaran kami, diambilkan dari APBD atau hibah,” jelasnya.
Lanjutnya, untuk pelayanan dalam mengatasi kekerasan perempuan dan anak khusus warga DIY dan juga masyarakat yang ber- KTP DIY dibentuklah unit-unit untuk memudahkan dalam penanganan korban kekerasan. “Bahkan supaya penanganan lebih cepat, dihadirkanlah pelayanan mobil keliling untuk menjemput para korban. Itu supaya kita cepat tanggap untuk mengamankan terlebih dahulu,” ucap Yuliaty Iskak.
Untuk pendampingan korban kekerasan, pihaknya telah memiliki tiga pengacara dan beberapa pendamping shelter bidang psikologis. Sejumlah kasus yang sudah tertangani pada 2023 ada 13 kasus, 2024 ada 3 kasus, untuk lintas provinsi ada 13 kasus.
“Faktor pemicu dari kekerasan pada perempuan dan anak yaitu seperti perkembangan IT, dan Open BO yang terjadi pada siswa SMP. Layanan kami ini bersifat gratis,” tegasnya.
Yuliaty juga menjelaskan perihal sejumlah kasus yang ditangani. Hanya saja yang menjadi catatan penting dan perlu didiskusikan adalah belum bisa secara cepat dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dari pihak kepolisian terkadang menyatakan ketika belum ada foto bagian dada dan bagian bawah manusia, hal itu belum bisa dikatakan bagian dari pornografi. Maka penanganan kasus kekerasan seksual belum bisa dirantas secara cepat.
“DPRD pun sebagai wakil rakyat juga semestinya ikut rembuk dan turut andil dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang kerap menjadikan perempuan dan anak sebagai korban,” pungkasnya. (all)