PATI, Joglo Jateng – Bendung Karet yang berada di Desa Bungasrejo Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati belakangan ini ramai menjadi sorotan. Pasalnya, bendungan tersebut dinilai jadi salah satu penyebab keringnya sungai Silugonggo.
Mengeringnya sungai ini kemudian disinyalir menjadi pemicu terjadinya tanah gerak. Di mana, bencana ini mengakibatkan puluhan bangunan di Dukuh Guyangan Desa Purworejo Pati rusak pada pekan lalu.
Sebagaimana diketahui, Bendung Karet ini merupakan proyek dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Dalam proyek yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu termasuk membangun dinding penahan tanggul sungai.
Menyikapi persoalan ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati bertemu BBWS. Pertemuan ini untuk mencari solusi menyelesaikan persoalan tersebut.
“Tadi ada pihak-pihak yang memberikan penjelasan yang sangat baik. Terutama BBWS yang sedang membangun Bendung untuk sungai itu, termasuk perkuatan tanggul,” kata Pj Bupati Pati Sujarwanto Dwiatmoko, usia pertemuan di ruang Joyokusumo Setda Pati itu, kemarin.
Ia menyebut bencana tanah bergerak ini memang diakibatkan mengeringnya Sungai Silugonggo. Sedangkan sungai itu kering adanya Bendung Karet.
“Ada bangunan yang roboh, bergerak karena kalkulasi tekanan hidrolog air yang ada di sungai itu. Bangunan itu aman pada ketinggian air plus 60 cm dari dasar sungai. Itu terjadi kering, keringnya diungkap memang pembangunan Bendung Karet itu sebenarnya membutuhkan pengelak, pengelak itu meniadakan sejumlah air, tapi tidak boleh karena juga untuk pengairan yang di MT 3 di wilayah itu,” bebernya.
Ia menilai seharusnya sungai Silugonggo tidak sampai kering. Ini menjadi syarat untuk menjadi penahanan dinding tanggul di sungai tersebut.
“Maka kalau kering, penahannya tidak ada. Maka bergeser, bergeser itu yang menarik tanah sehingga menjadi pecah-pecah,” imbuhnya.
Pihaknya pun meminta agar pihak BBWS segera memperbaiki dinding penahan sungai yang bergerak tersebut. Tak hanya itu, air di sungai tersebut juga harus dijaga sesuai konstruksi yang telah direncanakan yakni sebanyak 60 centimeter.
“Solusinya kita dorong BBWS untuk membenahi tanggul yang bergerak. Itu dua akan meluruskan kembali dengan bangunan baru, dan itu butuh waktu satu bulan dari mulai dibangun kembali. Dinding yang bergerak ke dalam itu akan dipotong. Sehingga dengan begitu dimensi sungai tetap berjalan, setelah itu sisi darat di padatkan lagi,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, Juru bicara Jampisawan, Ari Subekti menilai ada beberapa faktor penyebab terjadinya tanah bergerak tersebut. Salah satunya imbas adanya pembangunan Bendung Karet.
“Pertama studi kelayakan proyek (Bendung Karet) ini perlu ditanyakan. Di mana secara analisis proyek, kok sampai terjadi seperti itu, seharusnya ada hitung-hitungan yang jelas bagaimana faktor-faktor itu bisa diminimalisir,” ungkapnya.
Bahkan, Ia menyebut proyek tersebut memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas.
“Proyek ini kami sudah sering mengingatkan harus ada studi kelayakan yang jelas. Saya pernah tanya kepada supervisi proyek ini tidak ada AMDAL-nya. AMDAL-nya sekalian normalisasi sungai. Itu tidak tepat juga menurut kami. Proyek sebesar ini dengan menelan uang negara 260 miliar itu, seharusnya benar-benar melalui studi kelayakan yang sangat intens,” tegasnya.
Selain itu, aktivis lingkungan ini menganggap penggunaan air di Sungai Juwana yang tidak teratur setelah adanya bendungan tersebut. Hal ini dinilai yang menyebabkan Sungai Juwana hingga mengering dan menyebabkan rekahan tanah sungai.
“Kami melihat pengambilan air sungai Juwana sampai sebegitu parahnya surutnya. Ini mempengaruhi tekanan air yang seharusnya menahan dinding sungai karena air habis akan menyebabkan longsor,” jelas Ari.
Tak hanya itu, Ari menyebut tak pernah memberikan sosialisasi terkait berapa debit air yang ada di sungai Juwana ini. Utamanya bisa digunakan untuk mengaliri persawahan.
“Itu tidak pernah dijelaskan. Sehingga musim tanam ini petani baik di kiri dan kanan sungai Juwana semuanya melalukan penanaman menyedot air sungai Juwana ini untuk persawahan mereka,” ungkapnya.
Ia menilai BBWS seharusnya mengatur terkait penggunaan air di Sungai tersebut. Sehingga hal ini dianggap untuk mengantisipasi terjadinya keringnya Sungai Juwana.
“Fakta-nya sampai kering. Di bawah jembatan Ngantru ke Barat sampai kering. Seharusnya BBWS menjelaskan kebutuhan air sekian, untuk sekian hektar, sehingga petani yang akan petani bisa mengira-ngira. Tapi tidak ada penjelasan,” sebutnya. (lut)