Beri Ruang Aduan untuk Awak Kapal Perikanan Migran

DISKUSI: Ocean Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Afdillah bersama Ketua SBMI Hariyanto Suwarno dalam Launching modul 'Pathway to Justice' bagi AKP migran Indonesia di Hotel GrandDhika Pemuda Semarang, Selasa (17/9/24). (FADILA INTAN QUDSTIA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berkolaborasi dengan Greenpeace Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang meluncurkan modul bernama Pathway to Justice bagi Awak Kapal Perikanan (AKP) migran Indonesia. Acara tersebut berlangsung di Hotel GrandDhika Pemuda Semarang Jalan Pemuda No.80-82, Kelurahan Kembangsari, Kecamatan Semarang Tengah.

Penyusunan modul ini diisi dengan berbagai peta masalah. Seperti banyaknya kasus eksploitasi, kekerasan hingga diskriminasi yang dialami oleh mereka selama bekerja di atas kapal penangkap ikan.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengungkapkan, dibuatnya modul ini sebagai panduan untuk memastikan bahwa apakah AKP migran mengalami indikator kerja paksa atau tidak. Selain itu, masih banyak AKP migran yang tidak tahu harus mengadu kemana pada saat mereka mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), baik dilakukan oleh rekan kerja asing maupun atasan.

Baca juga:  PB IDI Siap Dampingi Kasus Bullying Alm dr Aulia

“Ketiga, mereka (AKP migran, Red.) tidak tahu soal aturan hukum perdagangan orang itu apa. Dari persoalan itu, kami rasa penting modul Pathways to Justice ini sebagai jalan mereka memahami itu semua. Artinya untuk meningkatkan kapasitas, ketika itu dilakukan, paling tidak harapan kami mereka tahu ada aturan nasional dan internasional yang melindungi mereka,” ucapnya saat ditemui Joglo Jateng, Selasa (17/9/24).

Di sisi lain, ia menyebut peran pemerintah belum maksimal, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten hingga desa dalam pemenuhan hak asasi AKP migran. Padahal berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2017 jelas memberikan mandat akses terhadap informasi soal migrasi yang aman untuk bekerja di atas kapal. Namun sampai saat ini belum dilakukan.

Baca juga:  1,2 Juta Hektare Wilayah di Jateng Rawan Longsor

“Yang terjadi, monopoli penempatan terhadap calon besar. Maka pemalsuan dokumen di Jateng besar, penampungan yang tidak manusiawi besar. Ini kontribusi pemerintah tidak cukup, dalam hal melakukan pengawasan,” tegasnya.

Sementara itu, Ocean Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Afdillah mengatakan, di dalam isi modul ini terdapat materi tentang Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Menurutnya, hal ini penting diketahui khususnya soal eksploitasi tentang tenaga kerja.

“(Perusahaan, Red.) kapal-kapal ini juga melakukan perekrutan ilegal dan dia sejalan artinya ketika teman-teman yang akan bekerja di kapal mengetahui adanya praktik ilegal harusnya mereka tahu. Paling tidak mereka bisa bantu dengan mendokumentasikan video. Dengan begitu kita bisa advokasi pemilik kapal yang tidak hanya melakukan eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga ekploitasi laut seperti menangkap hewan laut yang dilindungi seperti paus, hiu, pari dan masih banyak lagi,” ungkapnya. (int/adf)