SEMARANG, Joglo Jateng – Direktur Anantaka Cultural Trust, Tsaniatus Solihah menyoroti kasus kekerasan terhadap anak (KTA) di lingkup sekolah. Menurutnya, pemicu awal terjadinya kekerasan karena kondisi rumah tangga anak yang tidak aman.
“Faktor pemicu awal terjadinya kekerasan anak di lingkup sekolah itu karena dari kondisi rumah (yang tidak aman). Jadi banyak anak-anak yang melakukan kekerasan di satpen (satuan pendidikan -red) itu ada persoalan yang ada di rumah dia, tidak ada ruang untuk mengekspresikan dirinya,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, Minggu (20/10/24).
Selain itu, mayoritas kasus kekerasan di satuan pendidikan itu diawali dengan adanya perundungan. Baik itu antar sesama anak, anak terhadap guru, maupun sebaliknya.
“Kenapa perundungan selalu ada karena kita tidak pernah serius merespon kasus ini. Banyak kasus kekerasan yang dianggap pasif menjadi candaan yang seolah-olah itu menjadi hal yang wajar untuk membangun building antar teman sejawatnya misalnya,” jelasnya.
Bahkan menurut survei nasional, kata Ika, kekerasan fisik sangat rentan dialami oleh korban laki-laki. Sedangkan, korban perempuan seringkali mendapatkan perundungan melalui perkataan, sehingga menyebabkan mentalnya terganggu.
“Tapi secara keseluruhan kasus kekerasan lebih banyak korbannya perempuan dan anak. Karena perempuan dan anak memiliki situasi yang rentan untuk menjadi korban kekerasan yang sifat khususnya diakui oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” terangnya.
Dirinya menegaskan, peran guru sangat penting untuk memberikan kebijakan sekolah soal penanganan dan pencegahan kekerasan di lingkup satuan pendidikan. Ia menyampaikan, mereka harus memaksimalkan aturan supaya anak-anak merasa nyaman dari kekerasan.
“Diharapkan peran guru ketika satpen sudah menjadi sekolah ramah anak, guru bisa menjadi konselor tidak hanya guru BK saja tapi semua guru,” ujarnya.
Selain itu, satpen sudah memiliki Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang merupakan mandat dari Kemendikbud Ristek No 46 tahun 2023. Hal ini memastikan agar tim ini bisa mengembangkan SOP sesuai dengan fungsinya, sehingga anak-anak lebih peduli terkait dengan upaya pencegahan kekerasan di lingkup sekolah.
“Anak-anak juga membiasakan diri untuk berperilaku positif, tidak takut untuk lapor. Kalau ada kasus mereka tahu kalau ada layanan terdekat,” pungkasnya. (int/gih)