SEMARANG, Joglo Jateng – Pakar Transportasi sekaligus Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno mengakui bahwa armada bus rapid trans (BRT) Semarang harus banyak dievaluasi. Salah satunya mengenai rute pelayanan masuk ke dalam kawasan perumahan.
“Trans Semarang memang harus banyak dievaluasi, Trans Semarang itu harus masuk ke kawasan perumahan karena banyak rute yang belum dilayani,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, menanggapi pemaparan gagasan dari kedua pasangan calon (paslon) Pemilihan Wali kota (Pilwalkot) 2024 Semarang terkait antisipasi ‘cumi-cumi darat’ pada armada BRT Semarang.
Dirinya setuju dengan gagasan yang disampaikan oleh palson nomor urut 01 Agustina-Iswar, yaitu penambahan armada BRT. Pasalnya, masih ada 112 kawasan perumahan yang memang belum terjamah. Sehingga masyarakat masih kesulitan dalam memanfaatkan fasilitas umum (fasum) publik.
“Dari total 112 kawasan itu, tidak sampai 5 persen yang mereka layani. Jadi kalau ada penambahan Trans Semarang itu saya setuju. Apalagi bagian Kecamatan Semarang Utara belum ada, terutama Tanas Mas. Secara aturan transportasi publik maksimal 500 meter dari rumah itu ada angkutan umum,” jelasnya, Kamis (7/11/24).
Pada tahun 1980-an, kata Djoko, setiap perumahan besar sudah difasilitasi adanya angkutan umum. Bahkan, daerah Semarang atas, yaitu Kecamatan Banyumanik armada tersebut juga masuk ke dalam perumahan warga dan bahkan bisa beroperasi sampai malam hari.
“Tetapi sekarang masyarakat sudah tidak mau katanya buat macet. Padahal dari segi luasnya jalan tidak ada yang berubah dari manusia tahun ke tahun. Tak hanya itu sekarang (masyarakat, Red.) sudah punya mobil,” ungkapnya.
Di sisi lain, ia juga menyoroti gagasan yang dipaparkan oleh paslon nomor urut 02 soal mengubah armada Trans Semarang menjadi bus elektrik. Hal itu dilakukan agar mengurangi emisi dan mencegah timbulnya asap hitam pekat atau biasa disebut ‘cumi-cumi darat’, yang sering dikeluhkan oleh masyarakat.
Menurut Djoko, hal itu bisa saja diimplementasikan pada lima tahun ke depan. Namun, kekurangannya, yaitu anggarannya akan lebih mahal. Sehingga dirinya menyarankan agar pemerintah menggandeng CSR atau BUMN untuk mewujudkannya.
“Nantinya itu akan meringankan ABPD. Jadi lebih murah. Namun, sebelum itu dijalankan, parkirannya harus dibenahi. Parkir di Semarang itu asa Rp 300 miliar. Menurut saya ini masalah konsep saja,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, alasan fenomena ‘cumi-cumi darat’ ini marak terjadi karena banyaknya persoalan yang dibiarkan. Meskipun, banyak masyarakat yang sering melaporkan hal tersebut ke pihak terkait sejak tahun 2020 hingga saat ini.
“Sudah sering banyak laporan tetapi masih aja dibiarkan mestinya operatornya diganti saja. Dalam pengoperasian itu ada perjanjian karena tidak ada pengawasan. Seperti contohnya suhu AC-nya yang panas sampai pelayanan yang buruk,” keluhnya.
Dirinya berharap, kepada Wali Kota Semarang terpilih untuk bisa mengatasi cumi-cumi darat yang mana sudah bertahun-tahun tidak terselesaikan. Selain itu, mereka juga melakukan pergantian armada Trans Semarang karena dinilai sudah tidak layak untuk beroperasi lagi.
“Bus hadir (datang, Red.) itu diperiksa suhunya (AC) kalau rusak, maka busnya tidak boleh berangkat,” pungkasnya. (int/adf)