PULUHAN mahasiswa penikmat puisi yang tergabung dalam kolektif komunitas mahasiswa Semarang “Kenikir” menggelar peringatan hari lahir Willibrordus Surendra Broto Rendra alias WS Rendra yang jatuh pada 7 November lalu. Meski hanya mengenal dari karya-karya WS Rendra, muda-mudi generasi Z itu sangat mengagumi sosok tersebut. Terlebih gayanya dalam membaca puisi sangat khas di ingatan mereka.
“Kami memang berkenalan dengan Rendra melalui video, baik itu di TikTok atau Instagram. Namun, dari sanalah justru jadi penasaran, lalu mulai membaca karyanya. Mungkin karena dokumentasi video Rendra baca puisi memang banyak bertebaran di media sosial, itu malah jadi pintu bagi kami mengenalnya lebih jauh,” ungkap Hakim, salah satu mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Upgris, belum lama ini.
Kegiatan ini mencoba membahas seberapa jauh dampak karya-karya Rendra bagi generasi sekarang. Hadir sebagi pembicara, Widyanuari Eko Putra (esais dan editor Penerbit Beruang) menyampaikan bahwa sosok Rendra adalah seniman multi-medium. Menurutnya sebagai penyair, ia tak hanya penulis puisi yang bagus, tetapi juga membacakannya dengan baik.
“Belum lagi keterlibatannya di teater, monolog, film hingga lagu. Jadi karyanya tidak hanya tekstual, tetapi juga visual,” ucapnya.
Menurutnya, sosok Rendra banyak sekali mendokumentasikan aksi panggungnya, terutama saat baca puisi. Untuk itu wajar bila Rendra termasuk sastrawan yang terus digemari dan dibaca lagi oleh pembaca di masa sekarang.
“Kepiawaiannya memasuki berbagai lini kesusastraan tersebutlah yang membuat Rendra bisa dikatakan sangat besar citranya sebagai seniman multi talenta,” tegasnya.
Pemateri selanjutnya, perwakilan UKS KIA Upgris, Indana Maulana menyebut, Rendra masih terus menarik pembaca karena secara gaya pembacaan puisinya masih dianggap patron. Menurutnya banyak yang menjadikan Rendra sebagai patokan dalam membaca puisi.
“Bagi banyak orang yang menekuni deklamasi puisi, sangat sulit menghindari pengaruh cara baca puisi ala Rendra. Mungkin sebagai tahap belajar nggak masalah, ya. Tetapi kalau sudah terlalu dijadikan anutan, susah sekali melepaskannya. Di sisi lain, itulah hebatnya Rendra,” pegiat deklamasi puisi tersebut. (luk/adf)