Kudus  

Kriminalisasi Guru, Pentingnya Libatkan Orang Tua Mendidik Siswa

BERLANGSUNG: Tampak guru tengah melakukan kegiatan belajar mengajar kepada siswa-siswi di salah satu sekolah di Kudus, belum lama ini. (UMI ZAKIATUN NAFIS/JOGLO JATENG)

KUDUS, Joglo Jateng – Setiap 25 November menjadi momen istimewa untuk merayakan hari guru. Namun, di balik gegap gempita peringatan Hari Guru, mereka kini terus dihadapkan pada fenomena kriminalisasi. Tak jarang, guru harus berhadapan dengan hukum hanya karena niat mereka mendisiplinkan atau membimbing siswa yang masih dalam batas wajar, sesuai norma dan aturan yang berlaku bagi anak didiknya, justru dituduh melakukan tindak kejahatan.

Sebut saja guru-guru honorer Supriyani, yang dilaporkan seorang polisi karena menghukum anaknya di Sulawesi Tenggara (Sultra). Sebelumnya, sejumlah kasus serupa yang memperlihatkan sosok guru yang berhadapan dengan hukum akibat metode peneguran atau hukuman kepada siswanya juga sudah pernah muncul.

Hal ini mendapat respon dari beberapa pakar hukum, salah satunya Dekan Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus (UMK), Hidayatullah. Menurutnya, kasus kriminalisasi guru bukan fenomena tunggal. Sebab, hal itu melibatkan siswa, peran orang tua, hingga sekolah.

Ia menilai perubahan sosial atas penghargaan terhadap guru semakin menurun, sehingga pandangan masyarakat terhadap posisi guru tidak seperti dulu lagi. Jika dahulu sosok guru menjadi profesi yang sangat dihormati maka semakin ke sini semakin berbeda. Nilai-nilai etika moral yang mulai berkurang ini mengakibatkan hubungan dan penghormatan siswa terhadap guru semakin menurun. Apalagi guru tidak hanya bertugas transfer knowledge, tetapi juga mendidik karakter siswa sebagai soft skill.

“Sehingga pada ranah ini, guru tentu memiliki cara untuk mendisiplinkan siswanya ketika melanggar norma atau aturan sekolah. Hal itu mungkin dianggap sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang tua,” ujarnya.

Baca juga:  Pj Bupati Kudus Hasan Habibie Dorong Perbaikan Kualitas Pendidikan melalui Kerja Sama Strategis dengan Kementerian

Menurutnya tindak pidana yang dilakukan orang tua seharusnya diawali dengan analisis penyebab sang anak memiliki pribadi yang nakal atau tidak patuh. Sebab beberapa perkara kriminalisasi guru tidak pantas jika dipidanakan, kecuali kekerasan fisik kepada murid sudah diluar batas normal.

“Saya kira profesi guru adalah pilihan, sehingga mereka pasti memiliki jiwa guru yaitu ingin anak didiknya menjadi pribadi yang baik. Jadi menurut saya kalau bisa perkara kekerasan yang memang tidak diatas batas normal jangan sampai ke pengadilan, tetapi cukup restorative justice,” katanya.

Hidayat menyebutkan, pemerintah telah coba memberikan perlindungan yang menyatakan dalam menjalankan tugasnya, sepanjang masih sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka tidak bisa dipidana. Demikian itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Terbaru Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Baca juga:  Dispertan Kudus Dorong Ketahanan Pangan Lewat Peningkatan SDM dan Produksi Perikanan

Termasuk beberapa prinsip dalam UU Perlindungan Anak yang berlaku saat ini. Menurutnya, mayoritas prinsip-prinsip dalam UU itu terkesan memprioritaskan kepentingan anak saja, sehingga keberadaan payung hukum yang melindungi guru menjadi lemah. Tak heran, tidak sedikit kasus tindak kriminalisasi yang dialami guru kerap terjadi di masyarakat.

Meski begitu, nyatanya masih banyak laporan dari orang tua siswa terhadap guru atas tindakan yang sifatnya pendisiplinan dari seorang guru kepada siswanya. Laporan itu justru diproses oleh aparat hukum mulai dari tingkat penyidikan di Kepolisian, Kejaksaan, bahkan diteruskan hingga proses persidangan. Padahal pada tingkat penyidikan, aparat dituntut untuk memiliki kemampuan analisa guna membedakan mana tindakan yang memiliki mens rea (niat jahat) dan mana yang tidak.

Pada dasarnya guru boleh saja mendisiplinkan siswa selama tidak bernuansa kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta tidak mengandung unsur SARA. Bahkan menurutnya, hal tersebut harus dilakukan guru sebagai bentuk kepedulian terhadap suasana belajar dan lingkungan sekolah yang disipilin. Selain itu, dapat menumbuhkan sikap disiplin dan rasa bertanggung jawab dalam diri siswanya.

“Pasal itu sekaligus sebagai payung hukum. Guru tidak boleh dikriminalisasikan menjadi pelaku tindak pidana. Maka komunikasi antara guru, orang tua dan siswa harus terus terjalin. Termasuk tugas untuk mendidik karakter anak menjadi pribadi yang baik tidak hanya menjadi tugas guru tetapi juga orang tua,” tandasnya.

Baca juga:  Realisasi Investasi Kudus Baru 33,10 Persen, Tantangan Berat Menuju Target Pusat Rp 2,05 Triliun

Sementara itu, Ketua PGRI Kudus Ahadi Setiawan menyayangkan, banyaknya kasus kriminalisasi guru. Menurutnya, Bapak/Ibu Guru yang tergabung dalam profesi guru menjadi profesi yang mulia, karena mendidik anak dengan kasih sayang agar tercipta generasi muda atau lulusan berkarakter dan berakhlakul karimah.

“Sehingga kami sangat menyayangkan jika ada kasus kriminalisasi guru. Dalam hal ini UU Perlindungan Guru dianggap perlu, karena guru rawan dikriminalisasi ketika memberi teguran atau hukuman pada para siswa,” ujarnya.

Ahadi menyebut, guru tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi apabila guru memang mengalami kesalahan maka hendaknya ditegur sewajarnya. Ia juga berpesan agar orang tua, siswa dan guru saling memahami satu sama lain, sehingga permasalahan yang ada tidak perlu ke ranah pidana.

“Kalaupun ada tindakan yang dilakukan orang tua siswa terhadap guru jangan sampai melampaui batas. Orang tua harus paham ketika anaknya berada di sekolah juga sebagai anak dari guru. Sebaliknya, ia juga meminta siswa taat kepada guru selama berada di sekolah. Termasuk bagi guru yang sebagai orang tua di sekolah hendaknya menjaga dan mendidik anak dengan baik,” pesannya.(cr1/sam)