SEMARANG, Joglo Jateng – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam tindakan wartawan yang ikut terlibat dalam mengintervensi kasus GRO (17) pelajar ditembak polisi agar tidak dibuka ke publik. Tindakan tersebut diketahui berdasarkan informasi dari seorang kerabat keluarga korban berinisial S.
Ketua AJI Semarang, Aris Mulyawan mengukapkan, perbuatan jurnalis atau wartawan yang berusaha menutupi peristiwa kematian GRO adalah tindakan serius yang menciderai profesi jurnalis. Selain itu, hal itu juga mematahkan semangat elemen jurnalisme yakni jurnalis harus menyampaikan kebenaran pada sebuah pemberitaan tanpa adanya kepentingan tertentu.
“Tak hanya itu, tindakan cawe-cawe jurnalis dalam kasus GRO berpotensi menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik,” ucapnya melalui keterangan tertulis yang diterima Joglo Jateng, Rabu (4/12/24).
Berdasarkan Pasal 4 UU Pers jelas disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kemudian untuk menjamin kemerdekaan pers maka pers nasional memiliki hak mencari, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
“Namun, wartawan ini dalam kasus GRO malah ada upaya menghalang-halangi sesama rekan jurnalis untuk meliput kasus tersebut. Dalihnya, Kapolrestabes Semarang akan merilis kasus tersebut tetapi selepas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024,” jelasnya.
Tak hanya itu, dalam Pasal 18 UU Pers sudah sangat jelas tertulis ‘Setiap orang yang dengan sengaja menghambat kerja pers secara melawan hukum dapat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta’. Dirinya sangat menyayangkan bahwa potensi pelanggaran ini justru dilakukan oleh wartawan itu sendiri.
Lebih lanjut, ia menerangkan, profesi jurnalis tidak boleh memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi. Dirinya menilai, sikap tersebut sangat jauh dari tanggung jawabnya sebagai seorang wartawan.
“Kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah jurnalisme di Semarang. Maka dari itu saya tekankan agar jurnalis memiliki prinsip keberpihakan kepada publik, kebenaran, dan keadilan. Tugas jurnalis juga sudah diikat dalam UU Pers dan Kode Etik sehingga jurnalis diminta supaya menaati rambu-rambu tersebut. Wartawan bukan Humas Polri,” pungkasnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sehari selepas terjadinya peristiwa penembakan yang menewaskan almarhum GRO, keluarga didatangi Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar bersama seorang wartawan bercirikan berbadan gempal pada Senin (25/11/2024) malam.
Perwakilan keluarga ini telah ditunjukkan foto seorang wartawan yang dimaksud dan dia membenarkan. Dalam pertemuan tersebut, keluarga GRO diminta oleh polisi dan wartawan ini untuk menandatangani surat pernyataan serta video yang intinya mereka sudah mengikhlaskan kematian almarhum.
Namun keluarga menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Alasan keluarga menolak karena pernyataan Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar tidak sesuai fakta sebenarnya. (int/gih)