KUDUS, Joglo Jateng – Kasus perceraian di Kabupaten Kudus per November 2024 mengalami penurunan. Dikatakan menurun karena pada 2023 mencapai 1.032 pengaduan, meskipun begitu hal tersebut masih menjadi perhatian publik.
Panitia Muda Pengadilan Agama (PA) Kelas I B Kudus Qomaruddin mengatakan, sebanyak 836 kasus di tahun ini, yang meliputi 166 cerai talak dan 670 cerai gugat. Kasus ini disebabkan adanya beberapa alasan, salah satunya yaitu banyaknya istri yang menggugat para suami, dikarenakan tuntutan ekonomi yang belum memenuhi standar.
“Alasan utama memang karena ekonomi, tetapi KDRT dan adanya orang ketiga juga masih marak. Di Kudus ini kan istri bisa bertahan hidup tanpa suami, karena lapangan kerja sudah banyak,” ungkapnya, Kamis (5/12).
Qomaruddin melanjutkan, rata-rata usia perceraian adalah 30-40 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan usia 19 tahun juga ada yang mengajukan. Biasanya karena masih labil dalam menghadapi masalah rumah tangga.
“Masalah perceraian kita tidak dapat mencegah, namun sekarang sudah diberlakukan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung (Sema) dari Kementerian Agama 2022 yang isinya perceraian dapat dikabulkan oleh PA jika terjadi pertengkaran terus-menerus dengan indikasi pisah rumah selama enam bulan,” tuturnya.
Sedangkan, PA tidak dapat mengabulkan pengaduan jika pertengkaran kurang dari enam bulan. Pengajuan dengan alasan KDRT juga tidak dapat diterima secara mudah. Mereka harus melampirkan bukti visum dari pihak kepolisian.
“Putusan SEMA Kemenag 2022 itu sangat membantu PA, karena dari aturan tersebut mampu menekan angka perceraian. Jika tidak, maka akan banyak orang yang nikah lalu cerai, begitu seterusnya,” jelasnya.
Perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Mereka kekurangan kasih sayang dari orang tua lengkap. Selain itu juga sikap yang ditunjukkan akan berbeda dengan anak yang memiliki keluarga cemara.
“Orang tua sekarang lebih mementingkan ego masing-masing. Apalagi jika keduanya sudah memiliki pasangan, mereka tidak akan lagi memikirkan anaknya,” tuturnya.
Tidak banyak pembagian hak asuh anak jatuh ke tangan bapaknya. Hal ini disebabkan karena kebiasaan, sehingga mereka lebih memilih untuk melanjutkan hidup bersama ayah dibandingkan dengan ibunya.(cr9/sam)