SEMARANG, Joglo Jateng – Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah menanggapi kekhawatiran Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah jika upah minimum provinsi (UMP) naik 6,5 persen. Kepala Disnakertrans Jawa Tengah, Ahmad Aziz mengaku pihaknya sudah memiliki tim deteksi dini untuk mencegah adanya PHK.
“Kita kan sudah melakukan mitigasi. Ada tim deteksi dini yang juga unsurnya dari mediator industrial, pengawasan ketenagakerjaan, dan mediator hubungan industrial. Itu gak hanya di provinsi, tetapi di seluruh provinsi juga ada teman-teman yang ada di dinas kabupaten/kota,” ujar Aziz, belum lama ini.
Adapun tim deteksi dini itu, kata Aziz, bertugas untuk mencegah PHK massal yang mungkin terjadi. Termasuk jika alasannya adalah kenaikan UMP maupun UMK.
“Memitigasi, memberikan pembinaan supaya perusahaan itu dalam tanda kutip dari sisi ketika ada permasalahan bisa secara cepat untuk ditangani hasil mitigas dan hasil identifikasinya. Itu untuk masukan agar bisa dilakukan langkah-langkah lebih lanjut,” jelasnya.
Ia berharap, PHK tak akan lagi terjadi di Jawa Tengah. Terlebih, kata Aziz, investasi yang masuk di wilayah ini cukup banyak.
“Semoga-semoga saja PHK tidak terjadi lagi dan Jateng ini untuk investasinya kan cukup banyak. Sebagian sektornya adalah padat karya yang butuh banyak tenaga kerja,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Aziz mengungkap beberapa perusahaan di Jawa Tengah sudah menggelar job fair. Hal itu baginya merupakan sinyal bahwa tak akan ada badai PHK lagi di Jawa Tengah.
“Bahkan ada beberapa perusahaan/PT di KIK ikut job fair seminggu lalu yang dibuka oleh Menteri Tenaga Kerja, itu butuh 1.000 tenaga kerja. Pabrik sepatu HOKA juga butuh banyak tenaga kerja, banyak investor yang menanam investasi di Jateng dan banyak kebutuhan tenaga kerja,” tegas dia.
Tak hanya itu, Aziz juga menyinggung tingkat pengangguran terbuka (TPT) Jawa Tengah yang ia klaim lebih rendah ketimbang provinsi lain.
“Itu terbukti TPT Jawa Tengah lebih rendah ketimbang provinsi lain. Sekarang 4,78, kalau gak salah tahun kemarin 5,13 persen. Jadi tingkat pengangguran terbuka menurun, ini berkat investasi di Jateng yang menyerap tenaga kerja lebih banyak,” pungkas dia.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi mengaku sangat keberatan dengan kenaikan UMP hingga 6,5 persen.
“Kita belum tahu dasarnya apa kenaikan 6,5 persen ini. Tetapi menteri sudah tetapkan. Jadi kita sekarang mau apa? Ya kita berusaha kita berusaha untuk melaksanakan ini. Meskipun kita memang kecewa karena dasarnya itu tidak jelas,” ujar Franz, belum lama ini.
Ia menilai, akan ada ribuan pengusaha di Jateng yang terdampak adanya kenaikan UMP hingga 6,5 persen. Pasalnya, kenaikan itu dinilai terlalu berat, khususnya bagi industri kecil dengan tenaga kerja melimpah seperti garmen, alas kaki, tekstil.
Menurut Frans, kenaikan UMP 6,5 persen yang disebut terlalu tinggi itu akan berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya peningkatan biaya produksi yang berpotensi membuat produksi di salah satu industri mandek dan berujung adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Harga produk mau tidak mau dinaikkan dan ini akan mengurangi daya saing kita, ini yang kita khawatirkan. Pengurangan daya saing berarti barang kita bisa tidak laku. Kalau produk kita menumpuk di pabrik, berarti kita pengurangan jam kerja. Bisa jadi pengurangan tenaga kerja. Tetapi kita berusaha untuk menghindari,” sambungnya. (luk/adf)