Kesenjangan UMP Jateng Dibanding Lainnya semakin Curam

SUARAKAN: Pilihan buruh dari berbagai daerah saat melakukan aksi demontrasi atas aspirasi kenaikan UMP 6,5 persen di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (9/12/24). (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jateng Karmanto menilai kesenjangan Upah Minimun Provinsi (UMP) di Jawa Tengah semakin curam dibanding wilayah lainnya seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, dan DKI Jakarta. Hal ini ia sampaikan usai menghadiri rapat pleno dari Dewan Pengupahan, yang terdiri dari Apindo, Buruh, dan perwakilan dari Dinas Tenaga dan Kerja (Disnaker) kabupaten/kota.

“Konsep dari pemerintah pusat yaitu menaikkan upah buruh sebanyak 6,5 persen sebenarnya kabar gembira untuk di daerah Jabar, Jatim, Banten, DKI Jakarta. Tapi kabar sedih untuk kawan Jateng karena kesenjangan upah semakin curam. Jabar bisa naik  Rp 350 ribu, di Jateng naik hanya Rp 120 Ribu ini kan semakin membuat buruh di Jateng jauh dari ketertinggalan,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, Senin (9/12/24).

Baca juga:  Wali Kota Semarang Dorong Masyarakat Bekerja di Bidang Ketahanan Pangan

Sebagai contoh di Kabupaten Karawang, kata Karmanto, gaji buruh bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. Kemudian, daerah Banten dan Tangerang itu bisa sampai diatas Rp 5 juta. “Ini yang membuat kawan-kawan makin galau makanya kami sampai hari ini melakukan perjuangan, lobi, advokasi terkait dengan pengupahan ini,” jelasnya.

Dirinya meminta kepada Provinsi Jateng untuk bisa menaikkan upah sesuai dengan kebutuhan hidup layak. Menurutnya, kenaikan Upah Minimun Kota (UMK) sebagai pengaman bagi pekerja yang masa kerjanya kurang dari setahun.

“Lalu bagaimana dengan (pekerja) yang di atas setahun, berkeluarga, bahkan punya anak. Ini semakin membuat buruh nasibnya tidak nentu karena kebutuhan yang dihitung KHL (Standar Kebutuhan Hidup Layak)  hanya 64 item, padahal kalau buruh itu sudah menyekolahkan anaknya ini ada  tambahan biaya. Bagaimana mereka bisa menghidupi anak-anaknya dan keluar kalau upahnya disamakan dengan karyawan baru,” terangnya.

Baca juga:  Anggota DPRD: Akuisisi Sekolah Swasta Perlu Dikaji Lebih Dalam

Dirinya turut prihatin atas fenomena yang dialami oleh buruh di Jateng. Pasalnya, mereka diharapkan sebagai penarik investor, namun kenyataannya buruh di Jabar tidak segera berpindah ke Jateng. Sehingga angka pengangguran semakin meningkat karena upahnya murah, namun asih terjadi PHK.

“Upah  murah tidak menjamin para pengusaha itu betah, bisa untung banyak karena sebelumnya bisnis itu tidak hanya melihat upah. Kalau kita berpikir secara signifikan bahwa bisnis ini harus infrastruktur yang dibutuhkan di ibukota kemudahan berinvestasi. Bisa dikatakan kami di Jateng, cukup prihatin kalau pemerintah hanya menaikkan satu setengah persen karena paling atau jatah upah dari atas dan bawah semakin menonjol,”paparnya.

Baca juga:  Namanya Dilaporkan, Wasi Mengaku Bertugas Sesuai Bidangnya

Bahkan, ia bercerita bahwa dengan gaji yang tidak layak ini, masyarakat membeli barang uangnya tidak cukup. Mereka lebih suka menyimpan uang untuk berbelanja sembako dan memasak sendiri, sehingga kebutuhan sekunder seperti baju tidak terpenuhi. (int/gih)