Oleh: Endang Pudji Dwi Rahayu
Guru Bahasa Indonesia SMP N 1 Demak
BULAN Desember identik dengan hari ibu. Kita ingat kembali masa kecil kita ketika menyanyikan sebait syair “Kasih Ibu” ciptaan Muchtar Embut yang sangat sederhana, tetapi sangat dalam maknanya sepanjang masa. Lagu tersebut berisi penanaman pengakuan, kesadaran , dan rasa terima kasih seorang anak kepada ibu yang telah melahirkan atau yang
merawatnya. Berikut lirik lagu Kasih Ibu karya Muchtar Embut.
Kasih Ibu
Kasih ibu kepada beta,
Tak terhingga sepanjang masa, Hanya memberi, tak harap kembali, Bagai sang Surya menyinari dunia.
Penggalan syair lagu tersebut sering kita nyanyikan saat masa TK (Taman kanak-kanak). Syair yang terkandung dalam ”Kasih Ibu” adalah sebagai upaya sang penulis agar seorang anak menyadari bahwa ibu memiliki kasih sayang yang tak terbatas sepanjang masa. Bila syair ini kita nyanyikan dalam hati di saat sunyi, betapa syair lagu ini sangat merasuk jiwa.
Dengan memahami makna lagu tersebut maka akan tumbuh rasa sayang, hormat dan bakti seorang anak kepada Ibu. Namun dengan berjalannya waktu anak yang ketika TK menyanyikan lagu “Kasih Ibu” dengan rasa bangga, tak jarang kita temui perbuatan anak yang berbanding terbalik dengan ruh lagu “Kasih Ibu” tersebut. Kisah – kisah singkat berikut adalah peristiwa yang bertentangan dengan syiar lagi tersebut .
Seorang anak memenjarakan ibu yang telah melahirkan ke dunia karena pembagian harta benda . Atau ada seorang ibu yang terpaksa keluar dari rumah yang selama ini digunakan untuk membesarkan anak-anaknya. Setelah anak besar dan menikah rumah kediaman itu diatasnamakan anak perempuannya yang telah bersuami. Namun pada akhirnya sang Ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya di rumah itu harus pergi dari rumah dengan dalih rumah ini sudah diatasnamakan untuk sang anak. Alangkah teriris hati ini mendengar cerita yang demikian.
Pengorbanan Ibu untuk sang anak tidak kecil. Demi melihat anaknya dewasa bersama pasangan hidupnya tak sedikit uang,tenaga, dan pikiran dikucurkan untuk membuka usaha. Namun apa hendak dikata rupanya sang anak menjadi lupa diri, setelah semuanya diraih, ibu yang telah memperjuangkan hidupnya diusir dari rumah dan pulang ke rumah orang tuanya.
Ada lagi kisah Risma (nama samaran) seorang Ibu yang harus hidup bersama kedua anaknya karena suaminya lebih memilih hidup bersama (berselingkuh) dengan teman sekerjanya . Uang Risma telah habis untuk membuat rumah di tanah warisan milik suaminya. Dengan berjalannya waktu Risma sudah tidak kuat dengan perlakuan sang suami yang selalu menduakannya. Singkat cerita Risma menuntut cerai, dia memilih hidup di rumah kontrakan bersama kedua anaknya. Suaminya tak mau memberi nafkah kepadanya pula kepada kedua anaknya. Risma yang seorang PNS lebih memilih hidup menjanda daripada bersuami tetapi selalu disakiti.
Yang dialami Denita tak jauh dari betapa termarginalkan seorang perampuan yang menyandang predikat ibu. Denita rela memilih menjadi seorang single parent dari ketiga anak lagi-laki yang dilahirkan, karena suami yang disetiai memilih perempuan lain dan sama sekali tidak memikirkan istri dan anaknya. Apa yang dialami Risma dan Denita sering terjadi di lingkungan sekitar kita.
Kemuliaan derajat Ibu lebih tinggi 3 tingkat dibanding ayah ternyata tak serta merta diraih tanpa ujian. Seorang Ibu yang ‘ngrungkepi’ (bhs Jawa : membela) anak-anaknya dari rongrongan sikap suami yang tak bertanggung jawab yang lebih memilih hidup dengan perempuan lain kadang menjadi jalan untuk meraih derajat itu. Pada penggal cerita yang demikian sempurnalah predikat yang disandang seorang Ibu .”Surga itu di telapak kaki Ibu”, sebab dengan langkahnya seorang Ibu menyelamatkan anak-anaknya.
Dalam tulisan saya Merenungkan Makna “Surga Itu di Bawah Telapak Kaki Ibu” (Media Kilas Fakta,edisi 214/TH. XIV,26 Desember 2022) saya tulis bahwa surga yang dibawa ibu meniscayakan seorang anak untuk berbakti kepada ibu/kedua orang tua. Dari sisi Ibu, memaknai ‘surga itu di telapak kaki Ibu’ merupakan sebuah kepercayaan tertinggi dari Sang Pencipta bahwa langkah kaki ibu sangat menentukan keselamatan kebahagiaan anak dan keluarga.
Pada sisi lain “Perempuan adalah tiang negara”. Bila tiang itu roboh maka robohlah negara itu. Ibu sebagai soko guru (bhs Jawa : tiang) keluarga, memiliki tugas yang tak ringan dalam menjaga biduk rumah tangga. Seorang ibu harus bersedia setiap malam bermunajad kepada Tuhan agar pada siang hari esok semua anggota keluarga selamat menapaki hari-harinya.
“Ibu” selalu identik dengan “kemuliaan” terbukti pada penggunaan kata ibu yang melekat pada kata yang lain , ibu jari, ibu pertiwi, ibu negara. Namun tak semua ibu dalam kenyataan sehari-hari mendapatkan perlakuan mulia bahkan dari orang-orang terdekatnya.
“Hari Ibu” mengingatkan dan menyadarkan diri kita siapa yang telah menjadi perantara kita hadir di dunia , kepada siapa kita wajib berbakti. Semua manusia lahir dari seorang perempuan , Ibu. Setinggi apa derajat dan pangkat manusia wajib berbakti , bersimpuh , pada sosok perempuan yang melahirkannya. Beliaulah jalan hidup setiap manusia. Perantara kahadiran setiap manusia ke dunia. Pepatah Jawa mengatakan wong tuamu sakloron iku bisa diumpamakno “ Gusti Alloh katon”.(Kedua orang tuamu itu bisa diibaratkan sebagai Gusti Alloh yang kelihatan). Ridho Alloh tergantung pada ridho kedua orang tua. Kepada keduanya kita wajib berbakti baik selama hidup di dunia pun sampai keduanya telah menghadap Sang Pencipta.
Semoga para perempuan yang menyandang gelar sebagai ‘Ibu’ mendapatkan dan menjaga marwah sebagai ibu yang dihargai ,disayangi secara lahir dan bathin dalam keluarga, oleh suami dan anak-anaknya. Semoga kita terhindar dari memposisikan ibu yang melahirkan setiap kita, atau isteri sebagai ibu dari anak-anak dalam setiap keluarga sebagai perempuan yang termarginalkan. Selamat Hari Ibu!
(termarginalkan , KBBI 2001:879): Masyarakat yang terpinggirkan baik cara berfikirnya,pola hidup maupun status sosialnya)