KUDUS, Joglo Jateng – SDIT Faidurrahman mengenalkan kepada siswanya pembelajaran berbasis budaya berupa pengenalan wayang gunungan. Hal ini dilakukan untuk membekali anak didik dengan pengetahuan dan berperan penting membentuk karakter dan moral mereka. Para siswa diajak membuat wayang dari kertas dan mewarnainya sesuai keterampilan masing-masing.
Wali Kelas II, Siti Saidah membeberkan, pemanfaatan wayang sebagai media pembelajaran tidak hanya membantu dalam proses belajar-mengajar. Tetapi juga berperan dalam memperkenalkan dan melestarikan budaya lokal kepada generasi muda dalam era globalisasi yang semakin mengikis nilai-nilai budaya lokal,
“Penggunaan wayang dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan siswa dengan identitas budaya mereka. Wayang bukan sekadar alat bantu pendidikan, tetapi juga warisan budaya yang sarat nilai-nilai sosial, spiritual, dan moral,” bebernya kepada Joglo Jateng.
![](https://joglojateng.com/wp-content/uploads/2024/12/Foto-B-Kabar-Sekolah-21.jpeg)
Dengan menghadirkan wayang di ruang kelas, siswa tidak hanya belajar tentang materi pelajaran, tetapi juga mendapat pemahaman yang lebih dalam tentang warisan budaya Indonesia. Integrasi budaya dalam pendidikan ini dapat memperkuat rasa cinta dan kebanggaan siswa terhadap budaya lokal. Sekaligus membentuk karakter yang inklusif dan menghargai keberagaman.
“Praktik mewarnai wayang gunungan ini merupakan kolaborasi antara mata pelajaran bahasa jawa dan seni budaya. Kami para guru ingin memperkenalkan wayang gunungan kepada siswa dan untuk melatih keterampilan siswa dalam belajar mewarnai, memotong, dan menempel sesuai materi seni budaya kelas II,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut dia, wayang sebagai warisan budaya Indonesia memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali proses belajar mengajar dengan cara kreatif dan bermakna. Tak hanya mewarnai, anak-anak juga diberikan cerita atau kisah teladan melalui story telling berbasis wayang. Sehingga mereka juga dapat merasakan emosi serta pesan moral.
“Dalam wayang gunungan terdapat beberapa fungsi yang menjadi tolok ukur. Di antaranya gunungan dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan cerita atau lakon wayang,” sambungnya. (iza/fat)