263 Kasus Kekerasan di Semarang Sepanjang 2024, KDRT Dominasi dengan 141 Laporan

Plt Kepala DP3A Kota Semarang, Noegroho Edy Rijanto. (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Berdasarkan data dari awal Januari hingga 17 Desember 2024  Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang mencatat ada 263 kasus kekerasan yang terlaporkan di Kota Semarang. Dari total tersebut, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang paling mendominasi yaitu sebanyak 141 kasus.

Sebagai informasi, ada dua wilayah yang terbanyak yang mengadu soal adanya KDRT. Di antaranya, Kecamatan Semarang Timur sebanyak 26 kasus, dan Kecamatan Pedurungan ada 22 kasus.

Plt Kepala DP3A Kota Semarang, Noegroho Edy Rijanto mengungkapkan, adanya kasus KDRT seringkali terjadi ada dua faktor utama. Yakni faktor ekonomi dalam rumah tangga dan faktor lingkungan yang mana dua wilayah itu memiliki kepadatan penduduk.

Baca juga:  Parkir Elektronik di Semarang, Masih Banyak Jukir Pilih Transaksi Tunai

“Kami dari DP3A melakukan pendampingan dan menfasilitasi visum dalam malaporkan ke kepolisian. Kita kalau sudah melaporkan itu, tergantung dari kepolisian untuk bagimana mereka menindaklanjuti,” ucapnya saat dihubungi Joglo Jateng, Selasa (17/12/24).

Namun, ia menambahkan, sebelum korban diarahkan untuk memproses kasus KDRT ke ranah hukum, pihaknya, melakukan proses mediasi antara pelaku dan korban guna memastikan apakah kasus ini akan dinaikkan ke kepolisian atau rujuk kembali.

“Alasan mediasi dulu karena pada saat korban (perempuan) emosi masih labil, awalnya mau melaporkan (pelaku kepikiran). Tapi kenyataannya sering terjadi tidak jadi dilaporkan. Seringnya dilakukan mediasi kemudian mereka rujuk kembali,” jelasnya.

Baca juga:  Mbak Ita Ingatkan Pedagang Jangan "Mremo" saat Nataru, Ini Alasannya!

Berdasarkan laporan yang diterima, kata Edy, ketika korban sudah di tahap proses mediasi kasus KDRT tidak dilanjutkan ke proses hukum. Pasalnya, sesuai aturan visum harus dilakukan selama 1×24 jam untuk mengumpulkan semua bukti-bukti kuat untuk melaporkan pelaku ke kepolisian.

“(Pada tahap mediasi) Mereka ada rasa takut, sehingga mereka tidak melakukan visum dan kasus susah tidak dinaikkan,” katanya.

Apabila korban ingin melanjutkan kasus KDRT ke proses hukum, pihaknya menggandeng Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) sebagai kuasa hukum korban supaya dapat memproses KDRT dan pelaku dihukum sejera mungkin.

“DP3A hanya melakukan pendampingan ketika korban hendak melaporkan pelaku ke ranah hukum. Kalau KJHAM tidak mampu kita minta bantuan ke LSM, seperti LBH APIK atau LBH Semarang dan masih banyak lagi,” tuturnya.

Baca juga:  Dinsos Kota Semarang Evakuasi ODGJ Pemakan Daging Kucing

Lebih lanjut, ia menerangkan, ada dua alasan kasus kekerasan di Kota Semarang mengalami kenaikan. Yakni, kesadaran dari korban dalam melaporkan kasus yang semakin tinggi, dan adanya sosialisasi edukasi terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus dilakukan.

“Kami juga ada beberapa di tingkat kelurahan sudah ada Pos JPPA (Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak), kemudian kita sosialisasi ke RW, sosialisasi ke warga sehingga kesadaran untuk melaporkan itu sudah saya rasa semakin tinggi,” pungkasnya. (int/gih)