Opini  

PPN Naik 1% akan Kembali ke Masyarakat

Delima Boru Manalu

Oleh: Delima Boru Manalu
KPP Madya Semarang

AKHIR-akhir ini sedang marak pemberitaan tentang kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 % yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN sebesar 1% sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.Muncul beragam reaksi masyarakat mengingat kondisi ekonomi dianggap belum stabil. Naiknya tarif PPN berarti menambah beban masyarakat karena harga barang menjadi lebih mahal.

Menjawab keresahan yang beredar di masyarakat, berdasarkan pertemuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara pekan lalu, terungkap rencana penerapan kenaikan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 dipastikan hanya untuk kelompok barang mewah.

Barang mewah yang dimaksud seperti mobil mewah, apartemen mewah, serta rumah tinggal mewah. Sementara itu, terhadap barang dan jasa yang termasuk kebutuhan dasar seperti barang-barang pokok, sektor transportasi publik, pendidikan dan layanan kesehatan masih tetap diperlakukan tarif PPN saat ini yaitu 11%.

Melalui pemberlakuan tarif PPN secara selektif hanya terhadap barang-barang mewah, Pemerintah memastikan bahwa barang-barang penting tidak terpengaruh. Hal ini bertujuan untuk melindungi daya beli masyarakat berpendapatan rendah dengan tidak mempengaruhi harga kebutuhan dasar.

Pemerintah sebelumnya telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat daya beli masyarakat. Contohnya adalah perluasan lapisan penghasilan yang dikenakan tarif terendah 5% yang semula sebesar Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Demikian halnya pembebasan pajak penghasilan (0%) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dan bagi penghasilan Rp500 juta ke atas sampai dengan 4,8 miliar dikenakan tarif 0,5%.

Di sisi lain, sebagai wujud kegotongroyongan, orang pribadi yang memiliki penghasilan lebih dari Rp5 miliar dikenakan tarif tertinggi sebesar 35%. Dengan memberlakukan pajak yang lebih tinggi terhadap orang kaya dan barang-barang mewah, pemerintah dapat mendorong terciptanya lingkungan ekonomi yang lebih adil, di mana individu yang lebih kaya berkontribusi lebih besar terhadap anggaran publik, sehingga berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan.

Pemerintah pun telah memberikan fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu. Penyerahan (jual beli) atas barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran bebas PPN. Demikian pula penyerahan jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan juga dibebaskan dari pengenaan PPN tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat.

Tidak berhenti di situ, guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung iklim investasi di Indonesia, pembebasan PPN diberikan pula atas kegiatan impor dan penyerahan barang dan/atau jasa strategis tertentu pada sektor industri manufaktur, pertanian, perikanan, peternakan, kesehatan dan pendidikan.

Seiring dengan hal tersebut di atas, dalam usaha menjaga daya beli masyarakat untuk mempersiapkan kenaikan tarif PPN 1% dan untuk mendorong pertumbuhan industri tertentu yang bersifat padat karya, pemerintah menetapkan kebijakan antara lain: pemberian fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan unit rumah susun serta Kendaraan Bermotor Listrik, fasilitas untuk industri pionir berupa pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk jumlah investasi dan jangka waktu tertentu, fasilitas Ibu Kota Nusantara, fasilitas penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus dan fasilitas bagi perusahaan yang melaksanakan program magang dan penelitian.

Pemberian berbagai fasilitas ini diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan perusahaan pendukung industri di atas. Pada akhirnya, pertumbuhan industri tersebut akan menyerap tenaga kerja sehingga akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya beli masyarakat.

Melalui pemberian berbagai fasilitas perpajakan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN tidak akan mengganggu daya beli masyarakat, karena dalam Undang-Undang dan peraturan turunannya mengecualikan pengenaan PPN terhadap barang-barang dan jasa yang termasuk kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya.

Selain itu, penerimaan negara berupa PPN juga akan didistribusikan kembali kepada masyarakat melalui berbagai bentuk pembangunan infrastruktur, hingga program subsidi dan bantuan sosial. Namun hendaknya, pemerintah juga memperkenalkan kenaikan PPN secara bertahap dan tidak sekaligus dapat membantu konsumen menyesuaikan diri dengan perubahan. Pendekatan bertahap ini dapat mengurangi guncangan dan memungkinkan perencanaan konsumen yang lebih baik. (*)