KUDUS, Joglo Jateng – Di tengah maraknya konten hiburan di media sosial, muncul fenomena baru yang mengkhawatirkan di dunia pendidikan. Beberapa guru kini tidak ragu memamerkan keahlian mereka dalam menyulap nilai akademik siswa. Mereka dengan bangga menampilkan aksi merubah nilai yang buruk menjadi baik, seolah-olah prestasi akademik adalah permainan sulap yang mudah ditonton. Fenomena ini mendapatkan sorotan dari Riyanto, seorang guru di MI Darul Ulum 02, yang mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik tersebut.
“Bagi sebagian orang, konten semacam itu mungkin terlihat menghibur. Namun, di balik tontonan ringan itu tersimpan masalah serius yang menggerogoti pondasi pendidikan kita,” terangnya belum lama ini.
Menurutnya, aksi manipulasi nilai yang dipamerkan secara terbuka tidak hanya merusak integritas profesi guru, tetapi juga memberikan pesan yang salah tentang prestasi akademik kepada siswa dan orang tua.
Fenomena guru yang memamerkan keahlian mendongkrak nilai ini mengandung beberapa masalah mendalam. Pertama, tindakan tersebut merusak integritas profesi guru. Sebagai pendidik, guru seharusnya menjadi teladan bagi siswa dalam menjaga etika dan integritas.
“Memamerkan tindakan yang meragukan integritas tersebut hanya akan menurunkan martabat profesi guru itu sendiri,” ungkapnya.
Kedua, fenomena ini memberikan pesan yang salah kepada siswa dan orang tua. Pesan yang tersirat adalah bahwa prestasi akademik bisa dicapai secara instan, tanpa perlu usaha dan proses belajar yang sungguh-sungguh. Padahal, prestasi akademik yang sesungguhnya hanya bisa diperoleh melalui kerja keras, ketekunan, dan pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran.
Lebih jauh lagi, tindakan ini berpotensi melanggar kode etik profesi guru. Setiap guru memiliki kewajiban untuk menjaga objektivitas dan integritas akademik dalam penilaian. Dengan sengaja mengubah nilai siswa, guru telah melanggar prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dijunjung tinggi dalam profesinya.
Fenomena memanipulasi nilai ini tidak hanya berdampak pada profesi guru, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Salah satunya adalah merusak kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan di Indonesia.
“Jika banyak guru yang tidak jujur dalam memberikan penilaian, maka masyarakat akan semakin sulit mempercayai hasil belajar siswa,” jelasnya.
Selain itu, fenomena ini dapat memicu persaingan yang tidak sehat di kalangan siswa. Siswa mungkin akan lebih fokus pada cara-cara instan untuk memperoleh nilai tinggi, tanpa memahami materi pelajaran dengan baik. Hal ini tentunya akan menghambat proses pembelajaran yang sesungguhnya.
Tidak kalah penting, fenomena ini bisa menghambat perkembangan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan. Jika nilai akademik tidak lagi mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya, maka kita akan kesulitan untuk melakukan evaluasi yang akurat terhadap kualitas pendidikan yang diberikan.
Untuk itu, ia menekankan perlunya tindakan yang komprehensif dari berbagai pihak. Pertama, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap praktik-praktik yang tidak etis dalam dunia pendidikan.
“Sanksi yang tegas harus diberikan kepada guru yang terbukti melakukan manipulasi nilai,” tegasnya.
Kedua, lembaga pendidikan harus meningkatkan pendidikan etika profesi bagi guru, serta memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan pendidikan. Guru harus paham bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencetak generasi yang berkualitas, bukan untuk mencari popularitas melalui cara-cara yang tidak etis.
Ketiga, masyarakat juga diharapkan untuk lebih kritis dalam menyikapi fenomena ini. Jika ada tindakan yang melanggar etika profesi, masyarakat harus berani melaporkannya kepada pihak yang berwenang. (uma/fat)