YUSUF Amri (49) menjadi sosok ayah dari puluhan bayi di Semarang. Ia merupakan pendiri dari Rumah Bayi Semarang yang berlokasi di Jalan Gayamsari Selatan Raya, Sendangguwo, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
Yusuf mengaku alasan awal mendirikan Rumah Bayi adalah pengalamanya berjumpa dengan anak SMA yang hami di luar nikah pada 2016 lalu. Saat itu, hatinya mulai tergugah untuk merawat bayi tak berdosa itu. Bersama sang istri, Yusuf merawat ibu dan bayinya.
“Sejak 2016 saya menolong anak SMA dalam keadaan hamil. Keluarganya mengusir dia, anak laki-lakinya tidak mau bertanggung jawab. Akhirnya saya tolong walaupun dia tidak selamat,” kata Yusuf kepada Joglo Jateng, beberapa waktu lalu.
Rumah Bayi Semarang tersebut resmi berdiri pada 2019 lalu. Yusuf tak sendiri. Melainkan bersama 5 teman seperjuangannya saat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren As Salam Solo. Saat itu ia membantu asisten rumah tangga (ART) yang kehilangan pekerjaan sehingga kekurangan gizi saat mengandung.
Lambat laun, Yusuf lantas membantu para perempuan dalam kondisi hamil yang tengah dilanda kesulitan atau mendapat penolakan dari keluarga. Bahkan, orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) juga ia rawat dari saat hamil hingga melahirkan.
“Biasanya langsung saya rawat sebelum melahirkan. Jadi ibu-ibu hamil saya rawat di sini, saya harap anaknya itu bisa kembali ke keluarganya. Tetapi kalau nggak diterima nanti saya yang rawat,” terangnya.
Anak-anak yang tak diterima keluarganya itu pun dimasukkan dalam Kartu Keluarga (KK) Yusuf, bersama istri dan anaknya. Kini, sudah ada 40 anggota keluarga yang terdaftar dalam KK sebanyak 4 lembar itu.
“Kalau dulu biayanya dari kita sendiri pribadi, semampu kami di sini. Cuma alhamdulillah hampir satu tahun ini ada orang bantu sedikit. Sejak awal saya pernah mengajukan proposal ke mana-mana,” jelasnya.
Yusuf mengungkapkan, di Rumah Bayi Semarang kini ada 21 bayi. Bayi termuda berumur 2,5 bulan sementara bayi tertua berumur 2 tahun. Bayi yang berumur lebih dari tiga tahun akan dipindahkan ke Panti Asuhan yang juga ia kelola.
Selain di Semarang, teman-teman seperjuangan Yusuf juga membuka Rumah Bayi di Kudus, Jogja, dan Bali. Ada 6 bayi di Jogja, 29 bayi di Bali. Rumah Bayi Kudus masih dalam persiapan dan lebih sering membantu ibu-ibu hamil.
“Terus terang anggapan anak-anak ini di lingkungan ini masih ada istilah anak haram dan kadang belum bisa diterima. Dulu saya bawa ibu hamil ke sini juga belum bisa diterima masyarakat juga,” terangnya.
Merawat puluhan bayi dan ibu hamil tentu bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan, mulai dari keterpenuhan gizi ibu dan bayi, gaji bagi tujuh pengasuh yang saling bergantian menjaga bayi di sana, serta pendidikan anak.
Yusuf sempat menghitung, dalam waktu satu bulan, kebutuhan bayi dan ibu menghabiskan dana sebesar Rp 33 juta. Selain untuk kebutuhan dasar, beberapa bayi juga memerlukan perawatan intensif hingga operasi jika sebelumnya si Ibu sempat mengonsumsi pil atau berusaha mengaborsi bayi dalam kandungan.
Kendati demikian, Yusuf yang kini bekerja di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Semarang tetap setia merawat para ibu hamil dan bayi yang benar-benar membutuhkan. Ditanya apa yang memotivasinya bertahan membuka Rumah Bayi Semarang, pria satu anak itu sempat menangis. Meski sulit mengucap, ia tetap berusaha mengungkapkan pemikiran yang ia pegang sejak dulu hingga kini setia merawat puluhan bayi.
“Mereka punya hak yang sama. Kalau saya lihat bayi yang terlantar, dibuang, hingga meninggal karena nggak diopeni (dirawat, Red.), saya nggak rela. Apa yang pernah saya lihat, saya nggak mau itu terukang lagi,” ujarnya.
“Kadang tidak semua orang mau seperti ini (merawat bayi, Red.), tetapi mereka (bayi, Red.) punya hak seperti kita. Saya kadang melihat mereka seperti anak saya sendiri,” sambung Yusuf sambil sesekali menyeka air mata.
Tiap harinya, lanjut Yusuf, ia bisa menerima dua sampai tiga telepon dari orang-orang yang meminta bantuan. Namun, ia tetap menyaring siapa saja pihak yang akan ia bantu. Yusuf tak ingin jika ada orang yang lebih membutuhkan jadi tak bisa mendapat bantuannya lantaran oknum yang hanya ingin mencoba lari dari tanggung jawab.
“Harapan saya aneh, kalau bisa saya ingin yayasan ini tutup. Karena itu kan berarti sudah tidak ada lagi anak yang seperti ini. Tetapi saya lihat fenomenanya malah per hari makin banyak,” jelasnya.
“Per hari saya bisa dapat telepon dua sampai tiga orang ada yang hamil di luar nikah dan sebagainya. Tetapi kita pilih, kita ingin yang ada kita rawat dan kita bisa memilih mana yang betul-betul perlu bantuan kami,” sambungnya.
Merawat bayi-bayi terlantar pun membutuhkan ilmu. Yusuf sempat merawat anak berkebutuhan khusus. Namun karena merasa belum memiliki ilmunya, Yusuf pun mengirim anak tersebut ke pondok pesantren inklusif.
“Alhamdulillah di Semarang ada pondok pesantren inklusif. Anak-anak kita kirim ke sana, dirawat di sana karena mereka yang punya ilmunya, tetapi kebutuhannya dari sini. Panti asuhan nggak mengeluarkan uang sama sekali,” paparnya.
Ia juga menyekolahkan anak-anak di atas tiga tahun ke sekolah tingkat Paud hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau setingkat SMP, yang dikelola yayasannya. Hal itu dilakukan guna menghindari adanya perundungan yang terjadi di sekolah akibat anak-anak tersebut tak mengetahui orang tuanya.
Sebab, meski beberapa anak dirawat di Rumah Bayi Semarang karena tak diterima atau mendapat kekerasan dari keluarganya. Ada pula bayi yang ditinggal begitu saja tanpa diketahui siapa orang tuanya. Sehingga Yusuf pun berusaha menyelamatkan masa depan anak itu sambil berharap mereka bisa kembali ke pangkuan sang Ibu.
“Cita-cita kami itu ingin menyelamatkan hidupnya anak, menyekamatkan masa depan, dan menyelamatkan nasabnya. Harapannya mereka kembali ke keluarganya,” ucap Yusuf. (luk/adf)