Perubahan Iklim Memicu Kenaikan Kasus DBD

Kabid P2P Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Irma Makiah. (LU'LUIL MAKNUN/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah menyampaikan, sepanjang 2024 ada sebanyak 15.547 kasus demam berdarah dengue (DBD) dilaporkan di Jawa Tengah. Dari jumlah tersebut sebanyak 244 meninggal dunia dan mayoritas anak-anak.

“Dari 15 ribu, yang meninggal 244 pasien, mayoritasnya anak-anak. Yang paling banyak meninggal ada di triwulan I, Januari sampai Maret. Di bulan itu ada 109 yang meninggal. Hampir 50 persen kematian tahun ini terjadi di awal tahun,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Jateng, Irma Makiah melalui panggilan suara, Selasa (14/1/25).

Irma mengaku angka DBD sepanjang 2024 melonjak ketimbang 2023. Hal ini dikarenakan makin banyaknya kasus DBD terlapor dan perubahan cuaca ekstrem.

“Ini peningkatan banget, 2024 ini karena memang kita pelaporannya lebih bagus, jadi lebih banyak kasus terlaporkan, terutama RS dan puskesmas. Kedua, perubahan iklim gak tentu ya, sepanjang awal tahun hujan-panas hujan-panas. Kemarin pancaroba agak memanjang,” jelasnya.

Lebih lanjut, Irma menyebut Banyumas menjadi daerah dengan kasus DBD terbanyak di Jawa Tengah. Disusul oleh Klaten dan Grobogan.

“Tahun ini (2024, Red.) paling banyak Banyumas karena jumlah penduduk banyak. Kalau dilihat insidental hampir sama se-Jawa Tengah,” katanya.

Kendati angka kematian terbanyak ada pada bulan Januari-Maret 2024, Irma turut menyoroti kasus DBD yang cukup tinggi pada akhir 2024. Menurut keterangannya, ada 798 kasus DBD pada November dan 1.100 kasus pada Desember 2024.

“Masih ada peningkatan kasus di akhir tahun. Kemarin puncaknya kan di bulan Mei, Juni, pas peralihan musim hujan ke musim kemarau ya. Terus habis itu kemarau turun kasusnya. Sampai Oktober-November sudah turun, tetapi Desember-Januari 2025 agak naik lagi,” ungkapnya.

Irma menyebut, pasien DBD terbanyak di Jawa Tengah adalah anak-anak. Hal ini disebabkan rentannya daya tahan tubuh anak-anak ketimbang orang dewasa.

“DBD itu kan infeksi virus, otomatis kaitannya erat sekali dengan daya tahan tubuh, anak-anak lebih rentan. Kalau sudah pernah terkena DBD yang parah, infeksi pertama itu paling berat biasanya. Karena kedua dan ketiga kan sudah mengenali, sudah ada respons, pasukan tubuh untuk melawan sudah ada,” bebernya.

Untuk anak-anak, DBD biasanya menyerang pertama kali. Sehingga mereka Irma sebut lebih rentan jika terkena DBD.

“Kalau anak-anak kan mungkin infeksi pertama rata-rata, jadi lebih rentan. Kalau anak-anak lebih gampang shock, DBD itu kan paling ditakuti adalah kejadian jatuh ke shock syndrome-nya alias DSS,” pungkas Irma. (luk/adf)