SEMARANG, Joglo Jateng – Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Jawa Tengah menekankan agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) berdampak kepada kesejahteraan para petani.
Hal ini ditekankan oleh M Fadlil Kirom selaku Pendamping Perkebunan dan Kehutanan Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Jateng pada Senin (20/1/2025).
“Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam program MBG. Pertama, kalau rantai pasok bahan bakunya dari petani, baik melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) ataupun melalui petani mungkin itu akan berdampak positif karena penyiapan pangan betul-betul dari bawah,” ujarnya.
Namun, kata dia, jika suplainya berasal dari pedagang besar atau tengkulak, maka dampak positifnya sangat kecil bagi petani.
Menurut pria yang akrab disapa Padil ini, profesi mayoritas warga Jawa Tengah adalah petani. Setidaknya 80 persen warga Jawa Tengah dikategorikan sebagai petani.
Bagi Padil, mereka harus dilibatkan aktif dalam rantai pasok bahan baku MBG.
“Ini kan 80 persen (warga Jateng, Red.) adalah petani. Jika mereka dilibatkan langsung dalam suplai bahan baku MBG maka kesejahteraan mereka akan terkerek sangat signifikan. Apalagi sebentar lagi di bulan Februari atau Maret akan ada panen raya terutama padi,” bebernya.
Menurut dia, ini menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk membuktikan keberpihakan kepada para petani dengan mengambil langsung bahan baku MBG dari petani.
“Tetapi jika yang mensuplai adalah tengkulak atau pemasok non petani, maka keuntungannya tidak ada untuk petani,” lanjutnya.
Sejauh program MBG dijalankan, Padil memperhatikan tidak ada relasi menguntungkan untuk petani.
Padil merasa perlu ada satu koneksi antara dinas pertanian, asosiasi petani, badan ketahanan pangan, dan Badan Gizi Nasional untuk membeli langsung bahan baku MBG dari petani.
“Berhubung pada Februari atau maret nanti panen raya, dan pemerintah sudah mematok harga gabah Rp 6.500 per kilo gram, maka seharusnya petani mengunduh keuntungan dengan prgram MBG ini, jika pemerintah mau membeli langsung ke petani,” jelasnya.
Atau jika melalui suplier atau tengkulak, Padil berharap seharusnya pula suplier membeli gabah Rp 6.500 per kilo sesuai peraturan pemerintah.
“Tetapi biasanya karena alasan hujan, kemudian kualitas gabah turun, para tengkulak menurunkan harga gabah itu,” tuturnya.
Karena MBG permintaan bakunya sangat besar, secara teori seharusnya berdampak kepada kenaikan harga gabah.
Namun, jika sampai harga gabah malah jatuh, maka dipastikan ada kelompok-kelompok yang menimbun bahan baku yang dikeluarkan di saat panen raya sehingga menyebabkan harga gabah jatuh.
“Nah ini yang harus diantisipasi oleh Satgas Pangan atau Kementerian dan Dinas Pertanian,” tutup Padil. (*/adf)