Zonasi Tak akan Dihapus, Hanya Diubah Rumus Afirmasinya

Wakil Ketua Komite I DPD RI sekaligus Ketua PGRI Jateng Dr Muhdi. (MARNIE/JOGLO JATENG)

PURWOREJO, Joglo Jateng – Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekolah negeri, menjadi momok bagi sebagian peserta didik dan orang tua. Pasalnya, banyak siswa berprestasi yang tak bisa masuk ke sekolah yang memiliki fasilitas bagus, karena tak masuk dalam zona atau wilayah terdekat.

Ketua PGRI Provinsi Jawa Tengah Dr Muhdi menjelaskan, saat ini pemerintah masih mendiskusikan formula terbaik sistem zonasi. Kemungkinan akan ada perubahan, tetapi tidak menghapus sistem zonasi dalam PPDB.

Muhdi, yang kini juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite I DPD RI menyebutkan, sistem zonasi akan diubah agar masyarakat dapat mencapai pendidikan yang bermutu. Menurutnya, sistem itu dirasa tidak menjamin semua anak yang akan masuk ke jenjang SMP, SMA/SMK negeri bisa masuk ke sekolah yang memiliki fasilitas lebih baik. Istilahnya, memiliki kelemahan, pembagian zonanya tidak adil.

“Murid yang berada di zona blank (tidak masuk map zonasi), sangat dirugikan. Dulu sistem zonasi diatur sama (persentasenya). Ke depan, SD karena lingkupnya lebih sempit, 100 persen bisa. Untuk SMP diberi ruang anak dalam zona afirmasi miskin dan berprestasi dinaikkan, bisa 40 persen. Sedangkan SMA/SMK, bisa sampai 60 persen. Sistem zonasi masih akan diperrtahankan, hanya diubah rumusan persentasenya,” jelas Muhdi, Kamis (30/1/25).

Selain berbicara masalah zonasi dalam PPDB, ia mengatakan, dihapusnya Ujian Nasional (UN) menghilangkan standarisasi nilai untuk mencapai jenjang pendidikan di atasnya. Menurutnya, saat ini tak ada standar guna menilai keberhasilan murid dalam proses pembelajaran. Sehingga, perlu diadakan lagi sistem penilaian yang bisa menjadi standar, tolok ukur dalam menapak ke jenjang pendidikan selanjutnya.

“Standar nilai belum ada, UN akan dihidupkan atau tidak, 2026 mendatang, ujian nasional dengan nama lain. Mungkin namanya bukan ujian, untuk standarisasi ke jenjang lebih tinggi, tapi bukan untuk menyatakan kelulusan,” tuturnya.

Saat ini, sekolah belum memiliki sarana untuk standar nilai siswa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, dirasa semakin tidak adil, karena jumlah sekolah akan semakin sedikit, beda dengan SD yang hampir ada di setiap desa.

“Undang-undang (UU) Sisdiknas mengatakan, setiap anak berprestasi mempunyai hak memperoleh pendidikan terbaik. Dengan sistem zonasi saat ini, mereka terancam kehilangan hak itu, hanya karena dibatasi KTP, KK (domisili) jauh dari sekolah. Persentase (afirmasi) lebih kecil, nilai mana yg akan dipakai, maka bagaimana standarisasinya harus jelas,” paparnya.

Ia juga mengusulkan adanya asesmen ke sekolah-sekolah untuk memetakan pencapaian pembelajaran, serta mengintervensi kekurangannya dalam memberikan solusi. Dia mencontohkan, sekolah x atau y, kurangnya mata pelajaran apa, matematika, IPA atau lainnya, di mana masalahnya. Pemerintah harus menginterfensi, apakah karena guru yang kurang kompeten atau memang belum memiliki guru mapel, harus diberi solusi.(mrn/sam)