KENDAL, Joglo Jateng – Seorang anak atau ahli waris dari ulama besar seharusnya terus meningkatkan kualitas diri dengan berbagai ilmu, karena mereka harus melanjutkan perjuangan orang tua mereka yang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan agama untuk merangkul dan mendidik, serta menjadi teladan bagi masyarakat.
“Jadi, para keturunan ulama ini harus melanjutkan apa yang telah dicapai orang tua mereka, yakni mendidik dan memberikan pencerahan kepada para santri khususnya, dan masyarakat pada umumnya,” kata mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dalam tausiahnya di Haul KH Muhammad Wildan Abdul Chamid dan KH Abdul Chamid, di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin Kendal, belum lama ini.
Seorang anak atau keturunan ulama besar tidak seharusnya hanya mengandalkan nama besar leluhurnya, tanpa mau meningkatkan kualitas dirinya. “Sebab, hal itu hanya akan memperburuk citra leluhur, bahkan bagai berdiri di atas bangkai para leluhurnya,” tegasnya.
Dikatakan Kiai Said, warisan para ulama berupa ilmu dan para santri, merupakan modal sosial yang luar biasa yang dimiliki para warga NU dan tidak dimilik oleh organisasi lain. “Karena itu, tingkatkanlah kemampuan diri agar kelak bisa menerima dan mengembangkan ilmu yang telah diwariskan oleh orang tua,” ungkapnya.
KH Said Aqil juga mengatakan, sahibul haul, yakni KH Muhammad Wildan Abdul Chamid, mempunyai banyak santri karena aktivitas mengajarnya di berbagai tempat.
Karena itu, para anak dan cucunya, khususnya Gus Farid Fad, putra dari almarhum almaghfurlah Mbah Wildan yang kini mengasuh Ponpes Raudlatul Muta’allimi, harus mampu mengambil peran untuk mengembangkan ilmu dan pesantren serta masyarakat yang sebelumnya telah dikumpulkan dan diberi ilmu oleh orang tuanya.
“Kalau misalnya dulu Mbah Wildan punya 100 santri, ke depan Gus Farid selaku ahli waris Mbah Wildan harus bisa lebih dari apa yang telah dicapai orang tuanya. Sebab, itu semua merupakan modal besar yang harus terus dikembangkan lebih jauh ke depan oleh generasi-generasi selanjutnya,” tandasnya.
Hal senada juga disampaikan KH Abdul Ghofur Maimoen atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Ghofur pada taushiah sebelumnya. Putra KH Maimoen Zubair dari Sarang, Rembang, itu banyak menceritakan tentang tradisi keilmuan yang dikembangkan para ulama terdahulu, baik di Nusantara mapun di Jazirah Arab.
Menurut Gus Ghofur, para ulama NU itu kaya dengan ilmu yang luar biasa, baik ilmu fikih maupun ilmu lainnya. “Bahkan tak jarang mereka berselisih paham atau berbeda pendapat dalam diskusi, namun dari sisi sosial mereka tetap bersahabat dan akrab,” ujarnya.
Dia lantas menuturkan kisah salah satu imam besar umat Islam, yaitu Imam Syafi’i yang mempunyai tradisi belajar sampai tuntas. “Pada masa terakhir hidupnya, yakni sepama empat tahun, meski dalam kondisi sakit wasir yang parah, Imam Syafi’i konsentrasi penuh untuk menuangkan semua ilmunya hingga lahirlah salah satu kitab yang merupakan masterpiece, yaitu Kitab Al Umm. Semua ilmu beliau terangkum dalam kitab ini,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, dalam empat tahun tersebut, Imam Syafi’i juga melahirkan beberapa kitab lain yang kemudian dijaga diabadikan serta dikembangkan oleh para santrinya hingga saat ini.
Selama empat tersebut selain menuangkan semua ilmu yang telah dikuasainya, Imam Syafi’i juga mempersiapkan semua santrinya untuk melanjutkan perjuangannya, khususnya dalam tradisi belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
“Tradisi keilmuan seperri inilah yang perlu kita rawat, kita jaga, dan kita kembangkan agar ilmu pengetahuan dan agama terus berkembang di masa mendatang,” pungkasnya.(ags/sam)