WALHI Jateng: Mitigasi Kurang Jadi sebab Kebakaran TPA Beruntun

MEMANTAU: Petugas Pemadam Kebakaran mengamati helikopter BNPB menumpahkan air untuk memadamkan kebakaran tumpukan sampah di TPA Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Selasa (19/9/2023). (ANTARA/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menyebut bahwa kebakaran TPA beruntun di sejumlah titik wilayah Jawa Tengah disebabkan oleh kurangnya mitigasi. Hal itu lantaran kebakaran di TPA saat musim kemarau telah menjadi peristiwa tahunan, tak terkecuali pada 2023.

Manager Program WALHI Jateng, Nur Cholis menyebut, peristiwa kebakaran TPA telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk di lima titik wilayah di Jawa Tengah. Yaitu di Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kota Surakarta dan Kota Semarang.

“Kebakaran TPA yang terus berulang seharusnya mendorong pemerintah menyusun langkah mitigasi. Hal itu sebagai adaptasi guna mencegah kejadian serupa terulang pada masa mendatang,” ucapnya melalui keterangan tertulis yang diterima Joglo Jateng, belum lama ini.

Berdasarkan data beruntun bulan lalu, kata Nur Cholis, telah terjadi kebakaran di TPA Pesalakan Kabupaten Pemalang pada 1 September 2023. Kemudian TPA Muarareja Kota Tegal pada 2 September 2023, dan TPA Putri Cempo Solo pada 16 September 2023.

Lalu, kebakaran yang terjadi di TPA Jatibarang Semarang pada 18 September 2023 lalu. Selain itu, dua bulan sebelumnya, terjadi kebakaran di TPA Penujah Tegal pada 26 Juni 2023.

Baca juga:  Peringati Hakordia, ASN Diajak Perangi Korupsi

Nur Cholis menambahkan, hampir semua kebakaran TPA ini disebabkan oleh letupan gas metan akibat penumpukan sampah organik yang bercampur dengan sampah lainnya yang mudah terbakar. Ditambah lagi, dengan kondisi angin yang kencang dan musim kemarau yang panas.

“Hanya di TPA Muarareja Kota Tegal yang disebabkan oleh rembetan ilalang yang dibakar oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Penanganan terhadap kebakaran di TPA-TPA menggunakan cara yang sama, yakni penyemprotan air,” jelasnya.

Menurutnya, upaya pemadaman api dengan air di TPA yang terbakar dinilai kurang efektif. Pasalnya, pemadaman hanya dilakukan dengan mematikan api di permukaan saja karena air tidak dapat menjangkau ke sumber panas dalam tumpukan sampah.

“Pemadaman api di TPA Penujah Kabupaten Tegal butuh waktu 10 hari. Pemadaman tersebut terbantu hujan yang cukup deras. Pada kasus kebakaran TPA Pesalakan, butuh waktu dua minggu untuk memadamkan api pada area seluas 5 hektare,” lanjutnya.

Baca juga:  Pasarkan Hasil Panen, Mbak Ita Luncurkan Petruk Semar

Sementara di TPA Muarareja Kota Tegal, membutuhkan waktu untuk pemadaman api sekitar dua hari dengan area kebakaran 1 hektare. Menurut Nur Cholis, pemadaman api pada kasus kebakaran TPA seharusnya tidak menggunakan air secara keseluruhan.

“Perlu ada kombinasi pemadaman api dengan menggunakan tanah untuk menutupi area kebakaran dan menutupi pori-pori sampah sebagai sumber timbulnya metan,” ujarnya.

Metode ini, kata dia, dapat mematikan api hingga sumber terdalam dari tumpukan sampah. Pemilihan strategi harus tepat untuk meminimalisir dampak yang dialami masyarakat di sekitar lokasi. Sebab, kebakaran di area TPA yang berlangsung cukup lama akan berdampak bagi kesehatan masyarakat.

Ia menambahkan, berdasarkan pemantauan pihaknya, warga sekitar TPA Pesalakan mengeluhkan batuk sesak napas, panas dingin, dan mata perih. Setelah diprotes warga, pemerintah menyediakan layanan kesehatan gratis.

“Hal serupa terjadi terhadap warga sekitar TPA Penujah yang mengalami sakit mata dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di sekitar TPA Putri Cempo, belasan balita dan lansia dari Kampung Jatirejo RT 3 RW 39 Mojosongo diungsikan. Selain itu, salah satu sekolah, SD di Plesungan, Karanganyar diliburkan akibat asap yang masuk ke area sekolah,” bebernya.

Baca juga:  Bank Indonesia Imbau Masyarakat Waspadai Bahaya Pinjaman Online terhadap Data Pribadi

Hal ini, kata Nur Cholis, juga terjadi di SD Ngaliyan 04 Semarang, yang siswanya harus dipulangkan lebih awal. Mereka terpaksa mengikuti penilaian tengah semester (PTS) secara daring karena asap kebakaran TPA Jatibarang masuk area sekolah.

“Dalam hal ini kami mendesak pemerintah menghentikan pengelolaan TPA dengan sistem open dumping untuk mengurangi potensi kebakaran di masa mendatang,” desaknya.

Dikatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut ada 364 TPA di Indonesia. Sebanyak 33 persen di antaranya masih menggunakan sistem penimbunan terbuka (open dumping), 55 persen controlled landfills, dan sisanya 12 persen sanitary landfills.

Nur Cholis menyebut, dalam kenyataannya, mayoritas TPA di Indonesia terbukti masih banyak menggunakan praktik penimbunan terbuka. Padahal dalam dokumen pemerintah masuk kategori controlled landfill atau sanitary landfill. (cr7/mg4)