Penurunan Muka Tanah Jateng Capai 20 Cm

DISKUSI: FGD bertajuk Solusi Banjir Pantura Timur Jateng di kantor DPD RI Jateng, Rabu (24/4/24). (LUTHFI MAJID/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Kondisi tanah di Jawa Tengah harus menjadi perhatian bagi pemangku wilayah di Jateng, khususnya terkait kebijakan pembangunan di wilayah tersebut. Sebab, land subsidende (penurunan muka tanah) per tahun di Jateng mencapai 20 cm. Angka ini lebih melebihi Jakarta yang land subsidende-nya cuma 1-10 cm.

Hal tersebut terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Solusi Banjir Pantura Timur Jateng’ yang digelar Anggota DPD RI Dapil Jateng, Abdul Kholik di kantornya, Rabu (24/4/24). Turut hadir dalam FGD tersebut, Kepala BBWS Pemali Juana Harya Muldianto, Kepala Dinas Pusdstaru Provinsi Jateng Eko Yunianto, dan Direktur WALHI Jateng Fahmi Bastian. Hadir pula perwakilan dari Pemkab Demak, Pemkab Grobogan, Pemkab Pati, dan Pemkab Kudus.

“Tadi Semararang, Pekalongan, Jateng itu 1-20 cm per tahun (land subsidende-nya), melebihi Jakarta yang cuma 1-10 cm, artinya justru di sini yang lebih berisiko tinggi,” kata Abdul Kholik pada awak media usai FGD.

Baca juga:  Tragedi di Gunungpati: Siswa SMP Gantung Diri, Disdik Semarang Berduka

Oleh karena itu, merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau kebijakan Zero Delta Q, pihaknya berharap bisa lebih diperketat oleh pemangku wilayah.

“Kebijakan untuk Zero Delta Q sebenarnya salah satu aspek pada sisi pengendalian, bisa diperketat, termasuk kebijakan sumur resapan, biopori, penampungan di kawasan perumahan harus ada paket itu, diperketat akan mengurangi aliran air yang akan langsung mengalir ke sumber-sumber itu,” tegasnya.

Ia pun tak menampik bahwa untuk mengatasi banjir di wilayah Pantura timur Jateng dibutuhkan kolaborasi dan sinergi lintas sektor dan pemangku kepentingan. Banjir harus ditangani mulai dari hulu hingga hilir.

Baca juga:  Biskuit Kokola Berbagi Kebahagiaan Bersama Komunitas Difabel di Semarang

“Masalahnya kan dari hulu, tengah, hilir. Kalau hulu itu tadi ada soal tata ruang, alih fungsi lahan dan sebagainya. Kalau di tengah soal badan sungai, kalau hilir soal land subsidance dan air pasang,” ujarnya.

Menurutnya, penanganan banjir harus dilakukan oleh seluruh sektor, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, dan daerah. Pasalnya masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang beririsan. Mulai dari penataan kawasan hulu dan tata ruang, optimalisasi infrastruktur seperti waduk, sungai, dan tanggul, hingga pengendalian kebijakan pengambilan air tanah.

“Masing-masing pihak tadi sudah menyampaikan skema penanganan banjir sesuai tugasnya. Mungkin tahun depan masih ada risiko masih cukup tinggi. Paling tidak hari ini kita ada upaya bersama melakukan mitigasi untuk tahun depan dikurangi, kalau bisa pengurangannya signifikan,” ungkapnya.

Baca juga:  Fakultas Hukum Unwahas Lepas 77 Mahasiswa PKL di 20 Instansi

Hasil diskusi ini lebih lanjut akan menjadi bahan atau materi yang akan disampaikan ke pemerintah pusat. Kholik berharap ke depan risiko banjir di Pantura Timur Jateng akan semakin kurang dan pemerintah lebih siap dalam hal mitigasi dan penanganan.

Sementara Direktur Eksekutif WALHI Jateng, Fahmi Bastian mengatakan, dalam hal penanganan banjir dibutuhkan integrasi antar daerah. Pasalnya banjir ialah problem yang kompleks, sehingga kawasan hulu hingga hilir harus ditata dengan baik.

“Saya sampaikan saling terintegrasi dalam konteks penataan ruang. Dalam persoalan DAS (daerah aliran sungai) tidak bisa satu kabupaten saja, maka harus ada integrasi. Itu termasuk dalam konteks bagaimana penataan kawasan,” tutupnya. (luk/gih)