SEMARANG, Joglo Jateng – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah (Jateng) menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang belum serius menangani permasalahan banjir. Berdasarkan laporan investigasi yang telah dilakukan Walhi Jateng dari awal tahun 2023 hingga saat ini, pemkot masih sering kali menyalahkan tidak maksimalnya pompa sebagai peran banjir.
Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jateng, Iqbal Alma mengukapkan, pemerintah juga terus menyalahkan curah hujan tinggi. Menurutnya, tanggapan ini sangat salah dalam cara pandang mencari solusi terbaik.
“Bahwa tidak melihat akar masalah. Itu (melihat akar masalah, Red.) harusnya yang dilajukan oleh pemkot. Kalau kami men-tracking (pernyataan yang keluar di, Red.) media sejak pemerintahan Hendi Prihadi di tahun 2015, pemerintah hanya menyalahkan pompa. Bahkan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Red.) juga menyalahkan kapasitas pompa,” ucapnya saat dikonfirmasi Joglo Jateng, Selasa (21/5/24).
Sementara, kata Iqbal, pihaknya terus mendorong upaya untuk melihat masalah banjir dari akarnya. Sehingga solusinya sesuai dengan masalah yang terjadi.
“Sampai sekarang pemkot tidak pernah memunculkan bahwa perubahan hulu di Semarang itu menjadi satu masalah. Padahal itu seharusnya menjadi akar persoalan,” ujar Iqbal.
Selain itu, menurutnya, untuk mengatasi banjir dari sisi respons kebijakan pun belum ada keseriusan. Pemkot Semarang dinilai masih bergelut dengan mengejar investasi yang masuk di Kota Semarang. Sehingga yang lebih diperhatikan adalah tata ruang ramah investasi, namun penanganan banjir tidak dilihat secara serius.
“Sampai sekarang pemerintah masih salah dalam melihat masalah. Bahwa yang sakit mana obatnya apa itu belum sesuai. Menyamakan obat bagi semua masalah itu juga tidak sesuai. Bahkan kami lihat bahwa solusi yang ditawarkan masih berbasis administratif, tidak melihat daerah aliran sungai,” jelas Iqbal.
Dengan demikian, pihaknya mendorong dan merekomendasikan agar masalah-masalah yang masih berbasis administratif diganti dengan berbasis landscape daerah aliran sungai. Sehingga pemerintah tidak hanya mengandalkan pompa untuk mengendalikan air yang meluap.
“Menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru menurutku tidak pas. Karena konteks bahwa pengendali banjir di masa yang akan datang yang disalahkan juga pompa. Menggantungkan pompa sebagai pengendali banjir,” paparnya.
Iqbal menambahkan, ada juga permasalahan baru yakni rencana penggusuran seluas 46 hektare lahan mangrove. Jika itu direalisasikan, maka perubahan arus laut bisa terjadi, dan akhirnya berdampak pada wilayah di luar Semarang.
“Maka itu menurut saya kurang cocok, bukan solusi tapi malah menciptakan masalah baru,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Setda) Kota Semarang, Iswar Aminuddin menyampaikan, persoalan banjir di Kota Semarang memang harus dipandang lebih bijak lagi. Berdasarkan hasil kajian dari pihaknya, ada infiltrasi yang harus terjadi sebanyak 50 persen, evaporasi 35 persen, dan sisanya run off (pergerakan aliran air di permukaan tanah melalui sungai dan anak sungai). Jika ini tidak sampai 100 persen, maka air banjir akan terus menurun ke wilayah bawah, tepatnya Kota Semarang dan sekitarnya.
“Nah ini harus kita siapkan agar kemudian secara ideal harus kita kembalikan. Kalau manajemen penambahan kapasitas (pompa, Red.) oke lah kita perbuat untuk itu. Tapi kemudian betapa mahalnya kalau manajemen teknik. Yang kita butuhkan berhubungan dengan mindset masyarakat,” tuturnya. (int/adf)