BANTUL, Joglo Jogja– Pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) pemilihan kepala daerah (Pilkada) dibuka tanggal 27 hingga 29 Agustus mendatang. Di Bantul sendiri, belum ada partai yang mendeklarasikan paslonnya.
Baru PKB saja yang sempat menandatangani nota kesepakatan dengan Partai Demokrat dan Partai Gerindra. Sebelumnya, DPC PKB dan DPC Partai Demokrat sempat menandatangani nota kesepakatan yang mengarah pada koalisi. Bahkan dalam salah satu poinnya tercantum akan mengusung Ketua DPC PKB yang sekaligus Bupati petahana, Abdul Halim Muslih, berpasangan dengan Ketua DPC Demokrat Bantul, Rony Wijaya Indra Gunawan, pada tanggal 29 Juli 2024. Beberapa hari berselang, DPC PKB juga menandatangani nota kesepakatan dengan DPC Partai Gerindra. Kesepakatan dua partai politik (parpol) ini juga hanya mengisyaratkan kemungkinan untuk berkoalisi.
Masing-masing parpol tingkat cabang atau daerah ini masih menunggu keputusan dari DPP soal rekomendasi paslon calon (paslon). DPC seolah tersandera oleh kepentingan elite pusat. Padahal dalam konteks ini, sewajarnya DPC lebih mengetahui situasi, kondisi, dan dinamika yang ada di daerah.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fisipol UGM Profesor Purwo Santoso, menyampaikan, partai politik pada dasarnya merupakan lembaga demokrasi. Sehingga dalam konteks pilkada, parpol sewajarnya memberikan ruang kepada konstituen atau warga yang menentukan calon pemimpin mereka.
“Tapi nyatanya partai-partai itu justru enggan memberikan kepercayaan pada warga untuk menentukan pilihan. Itu menandakan partai yang sentralistik, yang hanya memburu kekuasaan, dan warga hanya menjadi komoditas, mainan, sasaran, bukan warga negara yang berdaulat menentukan pilihannya,” terangnya.
Dalam hal ini, Purwo berpendapat, parpol tidak lebih dari mesin politik untuk mendulang suara. Alih-alih sebagai alat masyarakat untuk mewujudkan tujuannya. “Sehingga partai sebenarnya tidak bersungguh-sungguh menjadi instrumen demokrasi,” tegasnya.
Hal itu diperparah lagi dengan adanya kecenderungan parpol untuk mengusung calon non partai. Bahkan secara khusus yaitu orang yang berlatar belakang pengusaha.Proses penentuan paslon yang seharusnya bottom up, sebaliknya dimanfaatkan hanya untuk melegitimasi ‘tokoh-tokoh’ yang ditentukan Dewan Pengurus Pusat (DPP).
“Proses itu tidak dilakukan, karena semua partai di negeri ini menyerahkan keputusan pilkada itu pada DPP. Tanpa terkecuali, kabupaten/kota maupun provinsi. Pada akhirnya parpol bukan lagi instrumen mengekspresikan kedaulatan rakyat. Rakyat hanya dijadikan voter,” tandasnya. (nik/ree)