SEMARANG, Joglo Jateng – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan investigasi terhadap demonstrasi mahasiswa di depan DPRD Kota Semarang pada 26 Agustus 2024 lalu yang berakhir ricuh. Hal tersebut disampaikan Komisioner Komnas HAM, Saurlin Siagian.
“Kami turun ke Semarang karena ada aksi besar 26 Agustus lalu yang menyedot perhatian nasional,” kata dia, Kamis (29/8/24).
Ia menuturkan, sekitar tiga hari tim dari Komnas HAM berada di Semarang untuk mengumpulkan bukti dan meminta keterangan saksi dan korban dalam kericuhan antara mahasiswa dan polisi itu. Dalam investigasi tersebut, Komnas HAM bertemu dengan pejabat Polda Jawa Tengah, mahasiswa, korban, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Tengah hingga pendamping dari kelompok masyarakat.
Selain itu, lanjut Saurlin, tim juga mengumpulkan rekaman CCTV untuk dianalisa. Dia menambahkan, hasil investigasi yang dilakukan pihaknya akan dianalisis sebelum akhirnya Komnas HAM memberikan rekomendasi atas peristiwa tersebut.
Sementara itu, sebelumnya Tim Advokasi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) mengaku sempat dihalang-halangi oleh aparat kepolisian ketika hendak mendampingi korban saat terjadi kericuhan aksi demo tersebut. Berdasarkan hasil investigasi yang ditemui oleh Jaringan Geram, terdapat beberapa pelajar mengalami kekerasan dari aparat ketika dibawa ke Kantor Polrestabes Semarang.
“Sungguh tindakan ini dilakukan berulang kali. Dalam hal ini bantuan hukum khawatir adanya tindakan kekerasan tersebut terhadap pelajar maupun mahasiswa. Tentu pola ini kami temukan tidak hanya waktu aksi ini saja, tetapi juga pada saat (aksi menolak, Red.) omnibus law (pada tahun 2020, Red.),” ucap Salah satu Tim Advokasi Geram, Nasrul saat dikonfirmasi Joglo Jateng, belum lama ini.
Lebih lanjut, ia menerangkan, para mahasiswa ditangkap saat tragedi aksi demo menolak omnibus law. Namun, hak pengacara atau pemberi bantuan hukum saat itu tidak diberikan oleh aparat kepolisian.
“Karena pada saat itu diketahui mahasiswa sudah mendapatkan tindakan kekerasan dari anggota kepolisian dan itu terulang kembali (tahun ini, Red.). Oleh karena itu, kami mengutuk keras kepada Pimpinan Polri untuk segera mengevaluasi anggotanya agar tidak menghalang-halangi pemberian bantuan hukum. Apalagi menutup-nutupi kekerasan kepada pelajar yang masih di bawah umur,” jelas Nasrul.
Selain itu, dirinya juga menegaskan, tidak boleh ada impunitas terhadap anggota polri yang melakukan kekerasan. Terlebih lagi, tindakan itu dialami oleh anak di bawah umur.
Berdasarkan informasi yang didapat Joglo Jateng, sebanyak 32 orang yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa yang telah ditangkap mendapati perangkat elektroniknya disita oleh aparat kepolisian. Bahkan, diminta untuk membuka kata sandi ponsel mereka.
“Menurut saya itu merupakan pelanggaran hak pribadi yang dimiliki oleh setiap warga negara dan tindakan itu juga tidak sesuai dengan aturan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Red.). Apabila ingin melakukan penyitaan atau penggeledahan harus memiliki izin dari pengadilan,” ungkap Nasrul.
Oleh karena itu, dirinya memperingatkan kepada pihak kepolisian untuk tidak bertindak sewenang-wenang. Jika hal itu tetap dilakukan, maka dirinya akan mempersiapkan hak hukum kepada mereka yang diduga secara paksa menyita perangkat elektronik dari massa aksi. (int/adf)