SEMARANG, Joglo Jateng – Pemberian izin usaha tambang (IUP) kepada Organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Keputusan tersebut diambil pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.
Menanggapi keputusan tersebut, Mahasiswa Angkatan XIX Magister Hukum Pascasarjana Universitas Semarang mengakaji terkait IUP itu dengan dialog terbuka.
Seminar Nasional bertajuk ‘Prone To Conflict Religious Community Organizations Manage Mines’ atau ‘Rawan Konflik Ormas Keagamaan Kelolaan Tambang’ ini mengundang pakar lingkungan serta para akademisi yang diadakan di Ruang Telekonferensi, pada Sabtu (21/9/2024).
Ketua panitia Seminar Nasional, Haizul Ma’arif menjelaskan bahwa dewasa ini perkembangan kelola tambang sangat penting untuk dikaji dan didiskuskusikan bersama. Sebab, ihwal tambang sangat riskan jika tidak dikelola dengan baik.
“Kita telah ketahui bersama, Presiden kita telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang secara spesifik mengatur tata cara proses pemberian izin terhadap ormas keagamaan,” jelas Haiz yang juga menjabat sebagai Anggota DPRD Kabupaten Jepara dalam sambutannya.
Menurutnya, ormas keagaaman memiliki sejarah panjang serta tujuan pendirian masing-masing. Seperti, kapasitas dan kemampuannya di bidang keagamaan dan pendidikan.
Dengan itu, pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang untuk ormas dengan klaim meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat.
Namun, regulasi yang dikeluarkan pemerintah tersebut belum memiliki sumber legitimasi yang kuat. Sehingga, masih bias di kalangan masyarakat. Apakah memberi manfaat ataupun sebaliknya.
Melalui seminar ini, Haiz berharap bahwa masyarakat dapat memahami terkait pengelolaan izin tambang bagi ormas keagamaan. Apakah memberi manfaat ataupun sebaliknya.
“Melalui diskusi ini, kita akan sama-sama mengetahui apakah perizinan pengelolaan tambang dapat memberi manfaat atau mudhorot,” paparnya.
Dalam forum itu, Pakar Lingkungan Hidup dan Dosen Megister Hukum USM, Sudarto P. Hadi dalam pandangannya menyampaikan, terdapat beberapa resiko yang akan timbul jika pengelolaan pertambangan dilakukan oleh ormas keagamaan. Pertama, kurangnya pengalaman dan kompetisi yang dapat menyebabkan praktik pertambangan buruk. Di mana dapat berpotensi merusak lingkungan dan mengancam keselamatan pekerja.
Kedua, potensi konflik internal yang bisa melemahkan struktur organisasi dan menghambat pelaksanaan kegiatan pertambangan. Ketiga, pengawasan dan regulasi yang lemah.
Kemudian, ketidakstabilan ekonomi lokal jika pendapatan dari kegiatan pertambangan tidak dikelola dengan baik. Dan kelima, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Jika ormas menerima hak pengelolaan tambang, proses pemberian hak tersebut harus melibatkan partisipasi publik dan diawasi oleh lembaga independent serta memenuhi persyaratan perizinan usaha. Pengawasan rutin harus dilakukan untuk memastikan bahwa ormas menjalankan pengelolaan tambang sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merugikan masyarakat atau lingkungan,” jelasnya. (cr4/gih)