SEMARANG, Joglo Jateng – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Semarang mencatat sebanyak 102 kasus kekerasan terjadi sebanyak tahun 2024. Hal ini disampaikan dalam acara Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) dan Launching Catatan Akhir Tahun (CATAHU) LBH APIK Semarang 2024 dengan tema Membangun Kesadaran Masyarakat mengenai Keamanan Digital untuk Mencegah Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), di Monod Diephuis & Co Jalan Kepodang, Kelurahan Purwodinata, Kecamatan Semarang Utara.
Direktur LBH APIK Semarang Raden rara Ayu Hermawati Sasongko mengukapkan, dari 102 kasus yang telah didampingi, kasus kekerasan yang paling banyak yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Disusul dengan, Kekerasan Seksual (KS), Kekerasan Terhadap Anak (KTA), dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
“Di launching Catahu ini berfokus ke KSBE saja karena memang dalam catahu ini dari 14 kasus KSBE yang kami dampingi belum sampai putusan pengadilan dan masih berhenti di tahap penyelidikan dan konsultasi hukum saja,”ucapnya, Kamis (12/12/24).
Dirinya menyebut, ada juga satu contoh kasus KSBE yang mana korban mengenal pelaku melalui dating apps. Diketahui, rata-rata korban mengaku bahwa mereka tidak mengenal pelaku sebelumnya.
“Ada yang dari mantan pacar juga. Untuk modusnya itu pernyataan cinta jadi rata-rata modusnya ada intimidasi dan ancaman karena sudah putus maka kemudian diancam akan disebarkan video asusilanya korban,”ujarnya.
Di samping itu, ada juga modus dalam bentuk pemerasan terhadap korban. Ia menambahkan, pelaku sengaja menjadikan video asusila itu untuk dijadikan bahan ancaman supaya korban mau menuruti keinginan si pelaku.
“Ini menjadi hambatan ketika diproses di kepolisian. Kami terhambat karena tidak diketahui (keberadaan) pelaku dan polisi mengembalikan kepada pendamping atau korban untuk mencari pelaku. Padahal tugas mencari pelaku itu kan polisi tapi sampai saat ini kami berharap 2025 polisi lebih aktif memberikan pendampingan terhadap korban.Termasuk pembuktiannya,” paparnya.
Dari laporan kasus kekerasan yang diterima LBH Apik, kata Ayu, 15 kasus mayoritas merupakan jenis hukum perdata dan telah menjalani proses putusan pengadilan sesuai dengan hak-hak yang diinginkan oleh korban. “Contoh kasus perdata itu ada KTA yang pelakunya dari pamannya itu udah putusan pengadilan,”jelasnya.
Selain itu, ada satu kasus yang sudah sampai tahap restitusi dengan jenis kasus KS yang kejadiannya di daerah Cilacap. Kejadian ini melibatkan lebih dari satu orang pelaku, sampai akhirnya sudah dilakukan putusan dan restitusi pula. “Tapi memang belum eksekusi putusan restitusi nya karena pelaku memang secara ekonomi tidak mampu,”katanya.
Meski begitu, dirinya berharap, untuk tahun ini aparat penegak hukum (APH) lebih berperspektif terhadap korban. Selain itu, juga di tahun 2025 mendatang dari polisi, hakim, jaksa lebih condong membela pernyataan dari korban.
” Karena kami mendapatkan tantangan ketika melakukan pendampingan terhadap korban dari jaksa dan polisi sendiri bahwa kami tidak boleh mendampingi korban. Bahkan saat kami memberikan surat dukungan kami dianggap menghambat proses hukum korban,”harapnya
Diharapkan, implementasi UU TPKS UU No 12 Tahun 2022 bisa dipergunakan sesuai dengan pernyataan dari korban. Termasuk dengan alat bukti yang sudah dinilai cukup untuk membuktikan bahwa pelaku memang bersalah dan pantas dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku. “Tapi saat ini alat bukti dianggap belum cukup oleh aparat kepolisian,”imbuhnya.(int/sam)