HJE Rokok 100 Persen Dinilai Tak Tepat

tembakau rajangan
KLASIFIKASI: Pekerja menandai kualitas tembakau rajangan di gudang penyimpanan tembakau milik sebuah industri rokok di Karangawen, Demak, beberapa waktu lalu. (ANTARA/ JOGLO JATENG)

JAKARTA – Kalangan industri hasil tembakau (IHT) menilai kebijakan pemerintah untuk memberlakukan Harga Jual Eceran (HJE) rokok sebesar 100 persen dari harga yang tertera pada banderol tidak tepat. Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar mengatakan, kebijakan HJE 85 persen yang berlaku saat ini sudah tepat dan tidak perlu lagi diubah-ubah.

Menurut dia, tidak ada perusahaan rokok yang bisa menetapkan harga jual ke konsumen hingga 100 persen dari HJE mempertimbangkan kenaikan cukai tinggi di tahun 2020. “Perusahaan rokok besar saja banyak yang menetapkan harga 85 persen (dari harga banderol),” katanya di Jakarta, kemarin.

Sulami mengatakan, penetapan HJE 85 persen tersebut tidak akan membuat negara rugi. Sebaliknya pengusaha yang memperoleh beban tambahan karena mereka membayar cukai secara penuh, namun menjual produk mereka 85 persen dari HJE.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan Dalam Ajang Indonesia Best Digital Finance Award 2024

Kalau ada pihak yang mendorong penetapan HJE 100 persen, lanjutnya, kemungkinan besar berkaitan dengan kemampuan pihak tersebut dalam mempertahankan pangsa pasarnya. “Dia tidak mau kehilangan pasar, sekaligus berupaya untuk mengurangi persaingan dengan merek lain,” katanya.

Menurut Peneliti Universitas Padjajaran Bandung Satriya Wibawa, apabila floor price ditiadakan atau dibuat 100 persen maka dampaknya akan dirasakan oleh petani dan tentu saja industri. Serapan tembakau petani, tambahnya, akan berkurang dan industri akan memutar otak untuk menghasilkan produk yang mampu diserap pasar.

Dikatakannya, karena yang mampu bertahan adalah produsen yang memiliki kemampuan keuangan yang besar, dikuatirkan akan timbul kemungkinan hanya akan ada satu pemain nantinya. “Jelas akan tercipta (pasar) monopolistis, bahkan sebetulnya saat ini oligopoli sudah terjadi,” katanya.

Baca juga:  Tingkatkan Perekonomian Jawa Tengah, Bank Jateng Raih Penghargaan The Best Indonesia Finance 2024

Baru-baru ini, salah satu produsen rokok dari Amerika Serikat mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan Harga Transaksi Pasar (HTP) secara penuh atau 100 persen dari harga banderol. Tidak lagi 85 persen seperti yang berlaku saat ini.

Penetapan HTP 85 persen dari harga banderol tertuang dalam Aturan Dirjen Bea dan Cukai No. 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT. Bila harga di banderol, misalnya Rp10.000, produsen diperkenankan menjual senilai Rp8.500 per bungkus (HTP).

Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) Sunaryo mengatakan, penerapan floor price tersebut tidak mempengaruhi penerimaan negara sama sekali. Karena pengusaha rokok membayar cukai mereka dalam jumlah rupiah per batang dan selalu dibayarkan di depan.

Baca juga:  Bank Jateng Raih Penghargaan di Prominent Awards 2024: Komitmen Kuat dalam Mendukung UMKM

Penetapan floor price, tambahnya, juga tidak memberikan efek apapun kepada penerimaan pajak rokok karena pajak rokok dibayar 10 persen dari cukai rokok tersebut. Aturan itu juga tidak akan mempengaruhi penerimaan Negara terhadap PPn hasil tembakau (HT) karena pengenaan PPn HT ditentukan berdasarkan HJE banderol. (ara/gih)