Oleh: Nawi Fabanyo, S.Ag., M.Pd.
Guru PAI SDN 04 Bulu, Kec. Petarukan, Kab. Pemalang
PADA masa sekarang ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model yang melandasinya. Sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi. Nilai-nilai tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan perkembangan manusia yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Pendidikan agama merupakan usaha yang tersistematisir sebagai upaya mentransfer niai-nilai religius. Dalam hal ini, yang digarap meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Adanya kegagalan dalam proses pembelajaran dikarenakan pendidikan belum mampu menelorkan SDM yang kritis, kreatif dan inovatif serta keluhuran budi penuh etika-moral. Selama ini proses pembelajaran baru dapat menyentuh aspek kognitif dan afektif dan jauh terhadap pencapaian ranah psikomotorik.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa proses belajar mengajar PAI belum dilaksanakan secara optimal. Sehingga tujuannya dalam menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur belum dapat dicapai secara efektif. Hal ini ditandai dengan krisis akhlak yang setiap tahun selalu meningkat, banyaknya kejahatan, baik berupa tindak kekerasan, seperti tawuran, perampokan dan pembegalan yang akhir-akhir ini marak terjadi.
Setelah ditelusuri, pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah menghadapi berbagai kendala. Antara lain waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dalam seminggu dengan materi yang begitu padat. Kemudian kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan nilai-nilai pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua siswa (Sumarni, 2000:37). Melihat kenyataan ini, maka pendidikan Islam perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam menuntut pemberdayaan yang harus disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama yang ada di Indonesia. Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya dalam usaha pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Sehingga perlu ada terobosan seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan zaman (Mahfud, 2012:74).
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan dalam rangka peningkatan pembelajaran adalah model pembelajaran quantum teaching. Yaitu suatu strategi pembelajaran yang berusaha menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Dengan cara menggunakan unsur yang ada pada peserta didik dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas. Sehingga interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
Model pembelajaran quantum teaching mengupayakan belajar yang meriah dan menyenangkan dengan segala nuansanya. Yaitu dengan menyertakan segala kaitan, interaksi, dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar (Leasa, 2013:168). Dari sini dapat diketahui bahwa model pembelajaran quantum teaching bertujuan mencipatakan suasana pembelajaran yang lebih menarik dan menggairahkan peserta didik.
Asas utama model pembelajaran ini adalah bawalah dunia mereka ke dunia kita dan hantarkan dunia kita ke dunia mereka (DePorter, 2000:6). Hal ini menunjukan betapa pembelajaran quantum teaching bukan hanya menawarkan materi yang dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam belajar.
Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar. Selain asas utama, quantum teaching juga memiliki prinsip atau yang disebut oleh De Porter sebagai kebenaran tetap. Prinsip-prinsip ini akan berpengaruh terhadap aspek quantum teaching itu sendiri. Prinsip-prinsip itu adalah segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan. (*)