JEPARA, Joglo Jateng – Yayasan Klenteng Welahan, Kabupaten Jepara berupaya melestarikan bekas bangunan sekolah pertama yang didirikan untuk komunitas Tionghoa di Jepara.
Berdasarkan pantaun di lokasi, sekolah yang terletak sekitar 500 meter dari Klenteng Hok Tek Bio ini terlihat tidak terawat. Halaman depannya sudah ditutup dengan pintu besi, dan area sekolah dipenuhi semak belukar.
Di sebelah timur pintu masuk, terdapat papan nama bertuliskan ‘THHK Anno 1912, Sekolah Pusaka 1956, TK, SD, dan SMP’. Di depan pintu, juga terdapat tulisan berbahasa Mandarin berwarna kuning dengan cat pintu hitam.
Ketua Yayasan Klenteng Welahan, Dicky Sugandi, menyampaikan bahwa mereka telah mengajukan surat kepada Pemerintah Kabupaten untuk melestarikan bangunan bekas sekolah tersebut, namun hingga kini belum ada tanggapan yang jelas.
“Kami sudah berkomunikasi dengan dinas terkait, bahkan kemarin ada kunjungan dari Dinas Pariwisata dan Kominfo,” ungkapnya, belum lama ini.
Dicky berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan keberadaan sekolah dan bangunan tua Tionghoa yang ada. Ia menilai keberadaan sekolah ini sangat penting, karena merupakan bangunan yang autentik dan memiliki nilai sejarah panjang.
Sekolah tersebut, lanjutnya, didirikan lebih dari seratus tahun yang lalu, dengan nama awal THHK, dan berganti nama menjadi Sekolah Pusaka pada tahun 1956. Sementara, Dicky dan ayahnya adalah alumni dari sekolah ini.
Dicky menceritakan, jumlah siswa di sekolah ini semakin berkurang seiring berjalannya waktu. Saat ia sekolah, hanya ada 14 siswa, dan pernah juga hanya 3 orang.
“Saya lulus SD pada tahun 1986, sudah 40 tahun yang lalu,” kenangnya.
Dulunya, daerah sekitar klenteng dihuni oleh banyak orang Tionghoa, tetapi seiring waktu, mereka mulai pindah ke tempat yang lebih mudah diakses. “Pada masa lalu, banyak orang Tionghoa di sini, tetapi transportasi sulit, sehingga banyak yang memilih sekolah di luar kota,” jelasnya.
Dengan berkurangnya jumlah penduduk Tionghoa di sekitar klenteng, jumlah siswa di sekolah juga menurun, yang akhirnya mengakibatkan penutupan sekolah tersebut. Sekolah ini sebelumnya hanya menerima siswa Tionghoa, namun setelah adanya sekolah Impres, mereka mulai menerima siswa non-Tionghoa.
Dicky berharap agar pemerintah dapat merawat sekolah ini menjadi sebuah napak tilas. Meskipun ia menyadari bahwa untuk menghidupkan kembali tidak akan mungkin.
“Mungkin kedepannya mengajukan untuk menghidupkan, karena penduduk pecinan (Tionghoa) di Welahan sudah sedikit. Tentunya sekolah ini bisa di lestarikan,” tutupnya. (oka/gih)