SEMARANG, Joglo Jateng – Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, sepanjang tahun 2023 lalu, terdapat 114 kasus KDRT terjadi di Kota Atlas. Menanggapi hal itu, Anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Rahmulyo Adi Wibowo mengatakan, salah satu faktornya yaitu pemahaman secara komprehensif dari korban maupun lingkungan yang belum menyeluruh.
“Memang terkait dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun 2023 sampai 200-an memang banyak faktor. Satu, pemahaman secara komprehensif dari korban maupun lingkungan itu yang belum menyeluruh,” ucapnya saat ditemui Joglo Jateng di Kantor DPRD Kota Semarang, Selasa (2/1/24).
Ia menambahkan, dalam UU tentang penghapusan KDRT dikatakan bahwa siapapun yang melihat dan mengetahui adanya sebuah peristiwa di dalam rumah tangga wajib untuk melapor kepada aparat berwajib. Seperti melalui ketua RT, RW, hingga kelurahan.
Ia menambahkan, ketika ada tetangga yang mendengar kekerasan dari luar, mereka wajib melapor ke pihak berwajib. Meskipun dari pelaku berkata hal ini merupakan urusan rumah tangga dan orang lain tidak boleh ikut campur.
“Karena ini urusannya nyawa sehingga ketika ada KDRT ada upaya pencegahan dari lingkungan masyarakat,” jelasnya.
Dirinya menyebut, faktor psikologis yang disebabkan oleh ekonomi keluarga juga menjadi latar belakang terjadinya kekerasan. Sehingga perlu adanya peran kepedulian dari lingkungan masyarakat yang bisa diikutsertakan dalam penanganan dan pencegahan kekerasan.
Dengan begitu, kata Rahmulyo, bisa menjadikan Kota Semarang sebagai lingkup yang bebas dan aman dari kekerasan. Dia menjelaskan, Pemkot Semarang sudah memberikan edukasi dan layanan konseling bagi warga Kota Semarang yang membutuhkan.
“Ketika banyak masyarakat dalam kondisi itu, mereka bisa memanfaatkan program-program konseling yang sudah ada di Pemkot Semarang dan insyaa Allah itu bisa dilakukan pencegahan,” ungkapnya. (cr7/mg4)