PURWOKERTO, Joglo Jateng – Direktur Kajian Islam Inklusif Center of Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS), Ahmad Rofik menyampaikan bahwa Ikhtiar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dalam mendirikan jam’iyah NU secara lahiriah mendatangi, berkumpul bersama para ulama yang sholih alim. Secara spiritual juga ditempuh dengan berbagai riyadhoh jalan spiritual, ada mimpi, ada isyarah, menunggu petunjuk langit dan sebagainya.
Oleh karena itu, seharusnya para pengurus PBNU juga melakukan ikhtiar yang sama. Namun tampaknya hal tersebut tidak dilakukan dengan baik. Termasuk dalam menyelesaikan problem internal organisasi, seperti yang berkaitan dengan organisasi thoriqoh JATMAN.
“Lah sekarang, untuk bertemu, duduk bersama dengan para ulama ahli tasawuf saja tidak terjadi untuk membincang persoalan teknis dan non-teknis. Sehingga tidak ada tabayun, saling memahami, menjaga persatuan. Saya belum melihat adanya pertemuan Gus Yahya dengan Habib Luthfi atau pertemuan informal penuh dengan kasih sayang di antara beberapa ulama hebat dalam membincang organisasi para ulama tasawuf itu,” katanya dalam keterangan yang diterima Joglo Jateng, Selasa (17/12/2024).
Ia menilai hal tersebut merupakan delegitimasi spritual terhadap ulama sufi ahli tasawuf ahli thoriqoh yang merupakan jantung dan ruhnya NU. Pada akhirnya nanti orang akan mempertanyakan spiritualitas jam’iyah keagamaan para ulama ini ketika semua diselesaikan secara teknis administratif politis dengan mengabaikan subtansi semangat spiritualitas keagamaan jam’iyah para ulama ini, penuh dengan prasangka, konfliktual, hitam putih, menjauhi persatuan mendekati perpecahan.
“Ini menjauh dari semangat, spirit Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mendirikan NU sebagaimana ada dalam qonun asasi,” ujarnya.
Bagi dia, sebenarnya tengah terjadi krisis di dalam jam’iyah keagamaan NU yang yg menjauh dari tradisi para ulama sholihin NU terdahulu karena NU itu mewadahi para ulama. Sehingga roda organisasi para ulama ini tetap dengan tradisi spiritual ulama NU yang khas, ulama ahli tasawuf.
“Kalau memperlakukan para ulama tasawuf dengan cara teknis administratif instrumentalis, cenderung hitam putih dan politis, ya NU tengah kehilangan ruh, jiwa, spirit keulamaan,” katanya.
Oleh sebab itu, lanjut dia, perlu refleksi-diri dari PBNU untuk mencari jawab, mengapa terjadi hal semacam ini. “Sehingga langkah ambil alih JATMAN pun mestinya direnungkan seribu kali, karena baru kali ini musyawarahkan tertinggi banom diambil alih PBNU yang sebenarnya tidak ada masalah krusial dan ini pertanda macetnya komunikasi silaturahmi ala ulama NU terdahulu, baik komunikasi secara formal informal dan spiritual,” pungkasnya. (*/gih)