PEKALONGAN – Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan telah menetapkan kawasan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, sebagai kawasan prioritas yang akan dituntaskan penanganan kawasan kumuh. Dalam upaya menangani kawasan tersebut, Pemkot menerapkan konsep “water front city” dan prinsip mundur, munggah, madep lali (M3K).
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Dinperkim) melalui sekretarisnya,Andrianto menyampaikan bahwa penataan Kawasan Krapyak ini merupakan program kolaborasi antara Pemkot dan Pemerintah Provinsi (Pemprov). Pemkot membantu pembebasan lahan, sementara Pemprov membantu di bagian konstruksinya yang sifatnya multi-year.
Berdasarkan hasil pendataan, Andrianto menyebutkan, terdapat 62 bangunan rumah warga yang terdampak pembebasan lahan untuk kepentingan penataan kawasan Krapyak Segmen Lodji yang rata-rata terdampak kurang dari 50% sehingga tidak diperlukan relokasi/tetap di lokasi eksisting (on site).
“Dalam konsep pemugaran rumah Warga Terdampak Program (WTP) tersebut menerapkan konsep “water front city” dengan prinsip mundur, munggah, madep lali (M3K),” ujarnya belum lama ini.
“Ini mengadopsi gerakan Pemerintah Yogyakarta dalam penataan kawasan bantaran sungai. Sebab, Pemkot sendiri ingin mengubah Kawasan Krapyak yang awalnya terkesan kumuh menjadi kawasan yang layak huni bahkan bisa jadi kawasan wisata baru di Kota Pekalongan,” imbuh Andrianto.
Dituturkan Andrianto, konsep “water front city” dan M3K Ini dilakukan sebagai upaya mengembalikan dan menjaga fungsi sungai sekaligus memenuhi ketentuan tentang garis sempadan sungai. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 11 PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang menyatakan bahwa garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan paling sedikit berjarak 3 m dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
“Dengan penerapan konsep “water front city” dan M3K kondisi bangunan menjadi lebih tertata dengan rapi dan bisa membuat masyarakat nyaman ketika berkunjung ke tepian sungai. Mereka bisa melakukan aktivitas di wilayah tersebut sehingga sungai yang ada pun bisa berfungsi sebagaimana mestinya,” pungkas Andrianto. (hms/gih)