SEMARANG, Joglo Jateng – Pedagang jajanan ringan di Pasar Bulu Semarang, Tumiati (48) mengeluhkan dagangannya sepi pembeli usai Covid-19 hingga saat ini. Meskipun, keberadaan lokasi pasar tradisional ini cukup strategis yaitu berdekatan dengan Tugumuda Semarang.
“Sepi, sekarang pasar memang susah (menarik pembeli) dari setelah Covid-19. Dibanding pedagang yang ada di lantai dua ini, justru pedagang yang berada dibawah (lantai satu) masih mending (banyak pembelinya),” ucapnya saat ditemui Joglo Jateng, Senin (11/11/24).
Lebih lanjut, ia menerangkan, penataan kios maupun los di Pasar Bulu tidak serapi dulu. Sebelum terjadinya Covid -19, lapak dagang yang berada di lantai satu berfokus menjual dagangan sembako saja. Sedangkan, lantai dua itu cenderung ke jajanan ringan, jajanan pasar, buah-buahan, dan masih banyak lagi.
“Tapi sekarang dicampur seperti dagangan baju, alat elektronik, jajanan dan sebagainya. Sedangkan pedagang yang ada di lantai dua hanya pasrah sama yang di atas (Tuhan Yang Maha Esa),” jelasnya.
Selama penataan dagangan, para pedagang tercampur jadi satu lantai, kata Tumiati, masyarakat lebih suka memilih untuk membeli bahan pokok dan sebagainya di lantai satu. Karena mereka tidak perlu susah payah naik turun eskalator.
“Saya itu jualan di Pasar Bulu selama 30 tahun dan baru ini merasakan rekoso dan parah. Dulu saya merasa gampang cari duit. Penghasilan bisa menutupi kebutuhan sehari-hari kalau sekarang sudah terima nasib saja,” ungkapnya.
Dirinya berharap, agar pemerintah bisa lebih memerhatikan lagi pasar tradisional sekarang. Selain itu, adanya upaya dari dinas terkait untuk meramaikan pasar menjadi ramai seperti dulu.
Sementara itu, pedagang buah Nur Anjarwi (54) merasakan hal yang sama soal sepinya pembeli di Pasar Bulu Semarang. Ia menyampaikan, sebelum Covid -19 banyak sekali masyarakat yang berbelanja di lapak dagangannya.
“Bahkan dulu itu saya punya utang itu sedikit tapi masih bisa memenuhi kebutuhan hidup. Tidak seperti sekarang, banyak utang yang harus dibayar,” keluhnya.
Dirinya menyakini, salah satu faktor yang menyebabkan pasar sepi karena adanya pasar bebas yang hanya buka setiap hari Minggu. Sehingga, dirinya berharap supaya pasar tradisional ini berkembang lebih baik sediakala.
Di sisi lain, Kepala Bidang Bina Usaha Dinas Perdagangan (Disdag) Kota Semarang, Lilis Wahyuningsih menjelaskan bahwa pasar sepi disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya, kesulitannya menarik uang retribusi pasar ke pedagang. Sehingga, banyak kios yang kosong karena tidak memenuhi target Pendapatan Daerah (PAD).
“Jumlah pedagang 24 ribu, sekarang jadi 15 ribu. Artinya ada 19 ribu kios yang tutup. Kami sudah laksanakan sosialisasi tapi selalu ditolak oleh pedagang karena mereka sepi pembeli. Padahal sesuai dengan aturan Perwal yang lama pun (pedagang) tidak sanggup secara rutin akhirnya timbul banyak piutang,” paparnya.
Selain itu, banyaknya konsumen yang lebih suka membeli barang maupun sembako melalui daring, daripada ke pasar tradisional. Terakhir, bermunculannya pasar tiban yang datang masuk ke permukiman warga menggunakan mobil pickup.
Dalam mengantisipasi hal tersebut, pihaknya berupaya mengkaji pembenahan- pembenahan sarana prasarana pasar tradisional. Diharapkan, hal ini bisa menarik perhatian kembali masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional. (int/gih)