Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jateng Masih Tinggi

ACARA: Launching Laporan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2024 “Memperkuat Akses Keadilan dan Pemulihan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Jawa Tengah” sekaligus memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Kampus Unika Semarang, Selasa (10/12/24). (LU'LUIL MAKNUN/JOGLO JATENG)

SEMARANG, Joglo Jateng – Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah masih tinggi. Hal itu disampaikan saat agenda Diskusi Publik dan Launching Laporan Tahunan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 di Kampus Unika Semarang, Selasa (10/12/24).

Direktur LRC-KJHAM, Nur Laila Hafidhoh menyebut bahwa ada 102 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024 di Jawa Tengah. Kota Semarang menyumbang 46 kasus, menjadikannya wilayah dengan angka tertinggi.

“Faktor tingginya angka kasus di Semarang antara lain karena aksesibilitas layanan yang lebih luas dibanding daerah lain. Kota ini memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Pos Pelayanan Terpadu (PPT) di tingkat kecamatan. Selain itu, banyak lembaga berbasis masyarakat yang aktif memberikan pendampingan kepada korban sehingga masyarakat lebih sadar untuk melapor,” ujarnya.

Baca juga:  Diduga Terlibat TPPU, Hotel Arrus Semarang Disita Bareskrim

Dalam acara bertajuk Memperkuat Akses Keadilan dan Pemulihan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di Jawa Tengah ini, Nur Laila memerinci beberapa jenis kekerasan seksual yang dilaporkan. Antara lain ialah 40 kasus pelecehan seksual, lalu 19 kasus perkosaan, lalu KDRT, eksploitasi seksual, dan sebanyak 6 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik.

“Selain itu, terdapat dua kasus rumah sana kursi yang memerlukan verifikasi lebih lanjut, serta lima kasus femisida atau pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan karena jenis kelaminnya,” tambahnya.

Pada tahun ini ada tren peningkatan terhadap kekerasan berbasis elektronik, yakni sebanyak 6 kasus dilaporkan. Dengan modus ancaman penyebaran foto atau video.

Baca juga:  Selamat! 20 Mahasiswa USM Peroleh Beasiswa BSI

“Namun, belum ada kasus berbasis elektronik yang berhasil diselesaikan hingga tuntas di ranah hukum,” akunya.

Nur Laila mengaku tidak semua pelaporan kasus itu diproses hingga ranah hukum. Dari 102 kasus, hanya 18 yang melanjutkan ke proses hukum.

“Banyak korban yang enggan melapor karena khawatir pembuktiannya sulit, proses hukumnya rumit, atau takut dengan stigma masyarakat,” ungkapnya.

Kata dia, korban kekerasan berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pelajar, pekerja rumah tangga hingga pekerja seks. Kebanyakan korban berusia dewasa.

“Meskipun sudah ada UU TPKS, stigma terhadap korban masih tinggi. Proses pemeriksaan sering kali justru menyalahkan korban, dengan pertanyaan yang mengorek privasi atau seksualitas korban sehingga mereka enggan melanjutkan laporan,” ujar Nur Laila.

Baca juga:  Agustina-Iswar Diharapkan Jaga Keseimbangan Ekonomi dan Lingkungan

Ke depan, lanjutnya, LRC-KJHAM akan mendorong penguatan akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Baik melalui peningkatan kapasitas aparat penegak hukum maupun edukasi kepada masyarakat untuk menghapus stigma terhadap korban.

“Tingginya angka pelaporan ini perlu dimaknai sebagai keberhasilan layanan yang makin menjangkau korban. Namun, perlu ada perbaikan di semua lini agar korban mendapatkan pemulihan dan keadilan,” tandasnya. (luk/adf)