Figur  

Ubah Eceng Gondok Jadi Produk Bernilai Ekonomi Tinggi

Pengrajin enceng gondok, Murni. (NUR MAIDAH /JOGLO JATENG)

KREATIVITAS tak jarang muncul dari keterbatasan. Seperti yang dialami oleh Murni, seorang pengrajin enceng gondok sekaligur kader PKK Desa Prambatan Lor, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus yang memanfaatkan eceng gondok menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.

Dua tahun lalu, ia memulai perjalanan ekonomi kreatifnya dengan memproduksi tas berbahan kain. Namun, seiring dengan pembentukan kelompok PKK kreatif di desanya, ia mulai mengeksplorasi daur ulang sampah hingga belajar membuat pot dari eceng gondok.

“Saat membeli eceng gondok dalam jumlah banyak, saya berpikir, bahan ini bisa dijadikan apa lagi ya? Setelah browsing, ternyata bisa dibuat anyaman tas dan kerajinan lainnya,” ujarnya, belum lama ini.

Awalnya, kreasi tangan Murni belum rapi. Namun, ia terus belajar dan memperbaiki kualitas dengan mencari referensi di Google. Perlahan, tas anyamannya mendapat respons positif, bahkan selalu terjual habis saat dipasarkan lewat status WhatsApp-nya.

Kesuksesan itu terus berlanjut ketika ia memperluas pemasaran ke Facebook dan bergabung dengan komunitas pengrajin. Dari situ, ia belajar membuat berbagai bentuk kerajinan menggunakan cetakan, seperti kotak dan bulat, yang memberikan hasil lebih presisi. Kini, ia memproduksi berbagai barang seperti pot, tempat tisu, tas, gantungan kunci hingga tempat sampah dengan harga mulai dari Rp 5 ribu sampai Rp 120 ribu.

Dalam sebulan, ia mampu memproduksi 25-30 barang, tergantung cuaca. “Kalau musim hujan, produksi terhambat karena proses pengeringan memakan waktu lebih lama. Jadi, saya memproduksi satu barang hingga selesai sebelum membuat yang lain,” katanya.

Proses pembuatan sendiri cukup kompleks. Mulai dari memilah bahan, mengeringkan, menganyam hingga pengecatan dan pernis.

Pemasarannya kini sudah menjangkau berbagai kota seperti Magelang, Solo, Jakarta, hingga Malang. Banyak pelanggan, khususnya pelaku dekorasi, memesan produk seperti pot oval atau kotak untuk kebutuhan dekorasi mereka.

“Pelanggan sering memesan minimal lima hingga sepuluh buah sekaligus,” ujarnya.

Meski begitu, perjalanan ini tidak tanpa kendala. Kesulitan utama adalah mencari tenaga kerja yang berminat belajar dan membantu. Banyak warga sekitar yang lebih memilih bekerja di pabrik atau mengurus anak, sehingga tidak tertarik menekuni kerajinan ini. Selain itu, faktor cuaca juga menjadi tantangan dalam proses produksi.

Ia juga aktif mengadakan pelatihan untuk anggota PKK dan masyarakat desa lainnya. Namun, pelatihan ini dibatasi karena keterbatasan tenaga.

“Harapannya, SDM warga sekitar bisa meningkat dan menyadari bahwa kreasi dari bahan alam ini memiliki nilai ekonomi tinggi,” harapnya. (cr7/adf)