Oleh: H. Akhmad Fauzin, S. Ag, M. Si
Ketua RMI PCNU Kota Semarang,
Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag RI
WAKTU, menurut agama kita, Islam, sangat dominan dalam penerapan ibadah baik vertikal maupun horizontal. Keberadaan waktu menjadi perhatian serius. Ini dicerminkan dalam beberapa ayat suci al-Qur’an, dimana Allah SWT bersumpah atas nama waktu. Terutama di beberapa surat di juz 30. Seperti demi waktu asar, demi waktu dhuha, demi waktu fajar, demi waktu malam, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa pentingnya waktu dalam kehidupan, agar kita tidak menyesal di kemudian hari.
Salah satu waktu yang istimewa adalah bulan Ramadan. Ramadan merupakan waktu atau masa dimana manusia diberi kesempatan yang sedemikian rupa longgar oleh Allah SWT untuk nge-charge secara batin kondisi jiwa atau spiritual. Agar lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Semua menunggu, masa atau waktu Ramadan. Bulan penuh dengan pengharapan, bulan penuh dengan gelombang positif, bulan resonansi untuk menambah kekuatan secara lahir dan batin. Bulan membentuk seseorang menjadi sehat secara fisik dan ruh. Ramadan sebagai bulan yang dipilih oleh Allah SWT sebagai waktu khusus, di bulan inilah open house, dihelat selama satu bulan penuh.
Lalu lalang manusia untuk menuju ke masjid, surau, langgar, dan tempat-tempat untuk tafakkur, dzikir dan iktikaf, hiruk pikuk ibu-ibu yang menyiapkan makanan berbuka untuk keluarga. Bahkan karena istimewanya Ramadan, pemerintah membuatkan kebijakan terkait jam kerja di bulan Ramadan. Sangat istimewa, dan kita bersyukur bisa menjumpai bulan Ramadan kali ini.
Apa yang menyebabkan kita tidak berhenti sejenak, dari pergumulan dunia? Apa yang menyebabkan kita enggan untuk membersamai bulan Ramadan? Seberapa kegembiraan kita dalam menyambut bulan Ramadan? Kemana visi Ramadan diciptakan oleh Tuhan sebagai bulan istimewa?
Dalam satu bulan ada 4 minggu, dalam 1 minggu ada 7 hari, dalam 1 hari ada 24 jam, dalam 1 jam ada 60 menit, dalam 1 menit ada 60 detik dan seterusnya. Kita hidup ternyata tidak terlepas dari limitasi dunia, berupa waktu. Ibadah vertikal yang berdampak sosial, seperti salat, juga tidak terlepas dari waktu. Waktu menjadi titik awal dan titik akhir seseorang melakukan ritual ibadah. Dengan waktu yang bergulir dan berjalan terus menerus ini, seseorang tidak bisa kembali dengan waktu yang telah berlalu.
Maka salah satu dialog Imam Ghazali dengan muridnya, bahwa yang paling jauh dalam kehidupan ini adalah menurutnya bukan bulan atau bintang atau matahari. Melainkan waktu yang telah berlalu. Ini adalah kiasan bahwa seseorang seharusnya menghormati dan menghargai waktu. Waktu sebagai saksi dalam interaksi sosial kita baik dengan Tuhan maupun dengan makhluk lain.
Seseorang ketika menyatakan beriman, tentu tidak akan terlepas dari proses ujian dan fase tantangan yang dihadapi dalam kehidupan. Pertahanan dan keberlangsungan serta kekuatan untuk mengubah kepada kebaikan menjadi proses nge-charge untuk mendapatkan energi baru atau paling tidak penambahan kekuatan dalam menjalankan ujian itu. Semoga Ramadan ini kita bisa nge-charge selanjutnya energi kuat untuk bertahan terhadap keimanan kita sampe akhir hayat. Wallahu a’lam bisshowab. Semoga bermanfaat. (*)