BELUM lama ini, penyebaran video asusila di media sosial terjadi di Kota Semarang. Hal itu dilakukan dengan dalih meminta restu kepada orang tua korban karena sudah terlanjur melakukan hubungan seksual.
Tindakan kriminal ini dilakukan oleh siswa SMA asal Kota Semarang berisinial RF (19). Dirinya mengaku sengaja meretas gawai sang kekasih berisinial NH (17) dan mengirimkannya video asusila itu ke kontak ibu korban berinisial FM (39). Juga serta grup WhatssApp ‘Mabar’ di waktu yang sama pada Jumat (14/6/2024) sekitar pukul 16.00.
FM pun langsung mengambil ponsel sang anak usai pulang dari sekolah. Saat FM memegang gawai itu, akun WhatsApp NH terlihat membalas percakapan.
“Sehingga dikatakan FM bahwa akun WA (WhatsApp, Red.) anak korban juga dapat diakses oleh pelaku (di-hack, Red.). Sekitar jam 6 malam. FM, korban dan para saksi menghampiri kediaman pelaku di kos,” ucap Kasubnit 2 Unit PPA Polrestabes Semarang Ipda Dinda Aprilia saat ditemui Joglo Jateng, Rabu (19/6/2024).
Menurut keterangan NH, pelaku sempat mencoba mengancam akan menyebar video tindakan asusila itu.
Korban tidak bisa mengukapkan itu kepada orang tuanya dan mengalami trauma.
Lebih lanjut, pada Jumat (14/6/2024) pukul 21.36, RF pelaku ditangkap oleh Polrestabes Semarang di kediaman kosnya di Kelurahan Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan atas kasus tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur.
Pendampingan terhadap Kasus KBGO

Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko mengatakan, kekerasan berbasis gender online (KBGO) diatur dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual, yang mana saat ini disebut sebagai kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Data terbaru kasus KBGO yang sudah ditangani oleh LBH APIK dari awal Januari hingga Mei 2024 ada 15 kasus. Rata-rata kasusnya ditahan non litigasi.
“Proses pendampingan hanya datang untuk konsultasi, pemulihan psikologis, rujukan kasus pemeriksaan medis pada kesehatan reproduksi. Ada satu (kasus, Red.) tahap somasi belum kami selesaikan karena kami belum tanda tangan kuasa karena dari korban ingin minta si pelaku minta maaf,” jelasnya.
Adapun tantangan yang pernah dihadapi oleh LBH APIK selama menangani kasus KBGO, kata Rara, salah satunya adalah membuktikan adanya tindak pidana kekerasan seksual menggunakan cara substansional hukum yang berlaku di Indonesia.
“Bukti satu dari korban kurang cukup. Jadi ini yang menjadi tantangan kepada pendamping,” ujarnya.

Menurut Rara, perspektif penegak hukum di tingkat tertinggi seperti kejaksaan, kepolisian dan pengadilan masih menganggap KBGO sebagai hal yang remeh.
Terlebih lagi, jika latar belakang kasus ada relasi pacaran. Sehingga proses penyelesaian di kepolisian akan dimediasikan, tidak sampai tahap penyelidikan.
Selama mendampingi kasus KBGO, LBH APIK pernah mendapat teror telfon yang mengancam agar tidak mendampingi kasus korban.
Namun pada Mei 2024 lalu akun Instagram pernah di-hack dan mendadak mendapat jumlah followers naik per hari hingga 100 akun.
“Sampai kami laporan ke Safenet soalnya kami sedang menangani beberapa kasus dengan beberapa hambatannya pelaku memiliki jabatan yang tinggi,” ungkap Rara.
Ia menambahkan, dengan banyaknya tantangan berbasis online yang pernah dialami, pihaknya bekerja sama dengan Safenet dan selalu memberi laporan kepada Polda Jateng supaya pada pendamping mendapatkan perlindungan.
“Karena ada kasus yang sampai (pelaku, Red.) datang ke kami mengancam secara verbal,” imbuhnya.

Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi LRC KJHAM, Citra Ayu Kurniawati telah mendampingi 13 kasus berbasis elektronik terhadap perempuan di sepanjang 2023.
Di antara 13 kasus tersebut ada yang berupa pemerasan.
“Memang paling banyak ketika melakukan konseling ke korban yang semua perempuan mereka mengalami KSBE entah melalui WA, Telegram dan lain-lain,” ujar dia.
Tantangan yang dialami oleh pendamping ketika mendampingi suatu kasus KBGO yakni ketidaktahuan korban dalam menyimpan semua bentuk dokumentasi sebagai bukti pendukung untuk mengadvokasi pelaku.
“Entah itu ancaman dalam bentuk link atau sebagainya. Karena biasanya ketakutan korban langsung memblokir no pelaku dan menghapus chat dari pelaku agar keluarga tidak tahu atau pasangan yang baru terkait perasaan yang ia alami,” kata Citra.
Kemudian, proses laporan di tingkat kepolisian yang terlalu lama dan rumit. Hal itu membuat beberapa korban berdampak pada psikologisnya. Sehingga mereka tidak ingin meneruskan kasusnya sampai ke ranah hukum.
“Proses ke kepolisian bisa lebih dari enam bulan sampai bertahun-tahun karena kepolisian kesulitan kesulitan untuk mencari unsur-unsurnya. Kedua, ada beberapa bukti yang tidak dimiliki oleh korban ketika polisi ingin ada bukti,” tambah Citra.
Sampai saat ini, pihaknya bersyukur karena tidak pernah mendapatkan ancaman secara verbal baik melalui online maupun langsung saat mendampingi kasus KBGO.
“Ketika kita berkomunikasi dengan korban kita menggunakan nomor HP pengaduan atau hotline untuk meminimalisir hal tidak diinginkan karena kita pernah merasa diteror oleh nomor WA orang yang tidak dikenal,” lanjut Citra.
Selain itu, pihaknya mengadakan pelatihan untuk pendamping terkait keamanan digital. Baik di handphone, laptop, maupun situs lembaga sendiri.
“Kita juga melakukan diskusi internal kalau ada hal-hal yang melalui medsos atau online ancaman atau teror atau spam link lalu kita diskusikan strateginya seperti apa,” tutur Citra.
Kalau sudah mengarah ke fisik, kata dia, pihaknya sudah mengantisipasi dengan berkomunikasi pihak kepolisian.
Aduan Kasus
Di sisi lain, Konselor Hukum UPTD PPA Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, Roudlatul mengukapkan, dari tahun 2023 sampai 2024 ada 6 aduan dari klien terkait kasus KBGO di Kota Semarang.
Layanan yang sudah diberikan oleh UPTD PPA untuk Kasus KBGO ini di antaranya layanan konseling psikologi dan pendampingan bantuan hukum.
Ada beberapa tahapan yang harus dilalui ketika korban KBGO melakukan pengaduan. Yakni mendatangi kantor yang diterima langsung oleh petugas piket, lalu mengisi form kasusnya.
Kemudian, kata Roudlatul, dari petugas akan mengasesment awal kronologinya untuk mengetahui pemetaan permasalahannya seperti apa.
“Biasanya mereka datang ke UPTD PPA untuk layanan konseling psikologis,” lanjutnya.
Ia menuturkan, kurangnya alat bukti dari korban menjadi salah satu tantangan terberat yang pernah dialami oleh pendamping saat mencoba mengusut kasus KBGO ke ranah hukum. Sehingga unsur pidana menjadi tidak terpenuhi dan kasusnya berhenti di tengah perjalanan.
“Karena prosesnya lama apalagi kalau KBGO pelakunya tidak diketahui keberadaannya. Paling tidak korban memiliki dokumentasi detail dan kronologinya agar waktu pengusutan terlihat,” ujar Roudlatul.
Lalu, ada juga proses di kepolisian yang lama. Menurutnya, hal itu lantaran pihak kepolisian yang menangani banyak perkara yang menumpuk, termasuk perkara siber.
Dalam upaya antisipasi agar tidak terkena ancaman siber, kata dia, pihaknya memilih untuk menjaga dirinya sendiri dan lebih banyak berkoordinasi dengan teman-teman jejaring lainnya guna meminta masukan.
“Selain itu edukasi ke masyarakat kita melakukan sosialisasi secara preverentif di tiap wilayah tentang pemahaman KBGO dan sejenisnya,” ungkap Roudlatul.
Pandangan dari Pakar Hukum
Pakar Hukum sekaligus Akademisi Fakultas Hukum Komunikasi Unika Soegijapranata, Dr. Hotmauli Sidabalok menjelasan, jumlah KBGO yang tinggi mengindikasikan bahwa online safety masih rendah, yang mana pengetahuan pengguna internet tentang online safety menjadi persoalan utama untuk keamanan diri saat berselancar.
“Perpetrator (pelaku kejahatan, Red.) ada dimana saja dan menggunakan berbagai cara untuk menjerat korban. Mulai dari mencari kepercayaan korban atau grooming, ambil foto atau video secara online (bagian tubuh privat, Red.) hingga penyebarannya sampai pemerasan terhadap korban sangat mudah dilakukan secara online. Bahkan terorganisir oleh sindikat,” tegasnya.
Menurutnya, UU ITE dan KS yang ada soal perlindungan perempuan pada kasus KBGO dinilai sudah cukup baik. Namun, ada beberapa pasal yang cenderung ‘tertinggal’ dibandingkan kecanggihan teknologi internet.
“UU itu misal pasal definisi kekerasan seksual berbasis online dan unsur-unsur pidananya yang sudah diatur detail lalu ancaman sanksinya. Kalau terhadap anak sanksinya lebih berat lagi,” ujar Hotmauli.
Selain itu, pemerintah juga belum punya sistem yang baik untuk melindungi korban dan menjerat predator atau perpetrator secara online.
Pasalnya, kecanggihan teknologi internet dan strategi-strategi perpetrator yang terus berubah.
Hal yang bisa menjadi langkah awal dalam pencegahan KBGO, menurut Hotmauli, yakni membentuk budaya aman atau safeguarding.
Safeguarding sendiri adalah tindakan yang diambil organisasi untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak dan orang dewasa yang rentan.
Hal itu guna melindungi mereka dari bahaya termasuk kerugian dan penelantaran fisik, emosional, seksual dan finansial. (int/adf)