SEMARANG – Kemerdekaan Indonesia tak luput dari perjuangan para pahlawan pada masa penjajahan. Tidak hanya kaum pria, banyak wanita yang juga turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan negara kita. Meini Hartoso adalah salah satu dari sekian banyak pejuang wanita tersebut.
Wanita yang kini berusia 91 tahun tersebut merupakan anggota veteran dari kelompok Tentara Pelajar (TP) EX TNI BE 17 Detasemen II Kompi 1 Solo. Bersama dengan rekan-rekan perempuannya, ia bertugas menyembunyikan dokumen-dokumen penting agar tidak diketahui oleh penjajah.
Meini masih berusia 14 ketika ia mengabdikan dirinya pada negara. Ia masuk ke dalam Tentara Pelajar Solo di bawah naungan Professor Imam Prakoso.
“Saya itu rakyat biasa, membantu begitu. Saya dulu masih umur 14 tahun, cah cilik-cilik ngrewangi (anak-anak kecil membantu). Waktu itu awalnya tinggal di Tegal, cuma karena bapak pindah ke Solo, saya ikut pindah. Di situ saya ikut berjuang lewat Tentara Pelajar. Kan rumahnya dekat,” tutur Meini ketika ditemui di kediamannya di Jalan Arjuna Nomor 35, Pendrikan Kidul, Kota Semarang, belum lama ini.
Dalam menyembunyikan dokumen-dokumen penting, ia mengaku tugas tersebut bersifat sangat rahasia. Tidak ada yang boleh tahu siapa yang tengah ditugaskan menyimpan dokumen tersebut. Entah itu Meini sendiri atau teman yang lain.
“Tugas saya ngrewangi (membantu) bapak-bapak. Kan dokumen-dokumen itu kita sembunyikan, yang anak-anak perempuan biar nggak ketara (kelihatan). Kadang disuruh ngelayat, kemana gitu. Kadang kan ada yang meninggal, terus mewakili. Memang rame waktu itu, tidak mengenal capek,” ungkapnya.
Meskipun banyak orang yang meremehkan keinginan Meini remaja, anak tertua dari 14 bersaudara ini mengaku merasa terpanggil untuk menjadi bagian dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Yang lain bilang ‘kok geleme kesel-kesel wong ora dibayar (kok mau capek-capek orang tidak dibayar)’. Tapi saya itu ada jiwa senang (berjuang). Berjuang itu mahal harganya. Saya ikut gabung sendiri. Perjuangan itu bukan dipaksa. Jiwa perjuangan nggak bisa dibeli,” ucapnya semangat.
Ketika ditanya pengalaman paling berkesan, ini mengenang salah satu pengalamannya ketika harus bersembunyi dari pengejaran penjajah Jepang. Dari masuk hutan hingga menyeberang sungai.
“Sungai Serayu itu tengahnya kan aliran sungai, dari (ujung) sini ke (ujung) sana itu turun dari atas ke sana itu, aduh berat itu. Mudune soko pinggir sampai ngisor kira-kira 50 meter (turun dari pinggir hingga bawah kira-kira 50 meter). Tidak boleh meleset, harus terjun satu-satu. Kita dibantu orang untuk pegangan. Tapi orangnya (yang membantu menyeberang) kan baik-baik, tidak ambil upah. Perjuangan tenan itu,” kenangnya.
Meskipun mengaku perjuangannya berat, wanita yang dikaruniai 3 orang anak ini mengaku ingin kembali menjadi pejuang jika saja ia masih muda. “Saya kalau masih muda ya mau lagi. Kenapa pingin lagi? Jiwa! Saya berjuang terus sampai kemarin selesai. Kalau sekarang kan jalan saja susah,” ungkap Meini tegas.
Saat ini, Meini tengah menikmati masa tua dengan tinggal bersama anak keduanya. Meskipun kondisi fisik sudah tidak begitu prima, gurat-gurat ketegasan dan kedisiplinan masih kentara pada pembawaannya. Wanita yang bekerja di dinas sosial setelah perjuangannya usai ini, berharap agar pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran.
“Ya ngopeni (mengurusi) lah. Sekarang ini veteran seperti saya itu dapat uang pensiun katanya. Saya dapetnya sebulan 1,8 juta. Itu saja sebenarnya pemerintah sudah tidak adil. Saya mestinya dapat 2,6 juta. Perjuangan saya kan dijumlah, diparo wae (dibagi saja),” tuturnya.
Tak lupa, ia juga berharap agar masyarakat Indonesia saat ini tetap berjuang. Meskipun sudah merdeka, belum berarti perjuangan telah selesai. “Berjuang untuk perbaikan negara. Perlu memahami artinya bendera merah putih,” ujarnya. (cr12/gih)