Opini  

Fenomena dan Dampak Fatherless

Psikolog Tia Widya Ayuningtyas, S.Psi., S.Pd., M.Psi. (DOK. PRIBADI/JOGLO JATENG)

MENURUT penelitian, Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country.  Artinya tidak semua anak dapat merasakan peran ayah dalam pengasuhan, baik secara fisik maupun psikologis. Fatherless terjadi karena ketiadaan sosok ayah pada anak, seperti kematian, perceraian atau permasalahan dalam keluarga. Kondisi ini akan menyebabkan hilangnya figur ayah dalam pengasuhan.

Fatherless adalah pengalaman secara emosional. Didalamnya terdapat pikiran dan perasaan tentang kekurangan kedekatan atau kasih sayang dari ayah. Ketidakterlibatan secara fisik, emosi dan psikologis dalam tahapan perkembangan anak.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2017 tentang kualitas pengasuhan anak di Indonesia, menyatakan sebelum menikah, hanya 27,9 persen dan 38,9 persen ayah setelah menikah yang mencari informasi tentang bagaimana cara mengasuh anak setelah menikah.

Baca juga:  Perdagangan Digital Kena Pajak, Benarkah?

Pada jurnal (Psyche: 165) Peran yang Terlupakan: Pengasuhan Ayah pada Keluarga dengan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. Munculnya fenomena fatherless lebih sering disebabkan karena adanya paradigma pengasuhan yang dipengaruhi oleh budaya patriarki. Di mana dikatakan bahwa proses mengurus anak ditanggung oleh sang ibu saja dan ayah tidak seharusnya mengurus anak atau terlibat dalam hal pengasuhan.

Fenomena fatherless mulai meluas. Salah satunya karena budaya yang seakan-akan membatasi peran antara ayah dan ibu dalam keluarga. Ini cukup mempengaruhi pola pengasuhan anak. Sehingga menciptakan ketimpangan dalam perkembangan psikologis anak.

Baca juga:  Perdagangan Digital Kena Pajak, Benarkah?

Penelitian mengenai fatherless menyebutkan kehilangan peran ayah dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan anak. Peran ayah dalam proses tumbuh kembang anak sangat penting. Hal itu berpengaruh terhadap kondisi subjective well-being mereka. Subjective well-being adalah salah satu prediktor kualitas hidup individu, yang akan mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai bagian kehidupan.

Selain itu, kesibukan ayah bekerja, menyebabkan waktu bersama dengan anak sangat kurang. Cenderung tidak berkualitas. Interaksi sebatas menyapa dan meminta bantuan. Tidak sampai pada menaruh perhatian terhadap anak.

Itu, menciptakan rasa canggung antara keduanya. Kondisi itu menyebabkan ketidakpuasan secara komunikasi. Sekelompok anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari ayah cenderung terbatas dalam kemampuan berinteraksi atau bersosialisasi.

Baca juga:  Perdagangan Digital Kena Pajak, Benarkah?

Hasil penelitian menyatakan, interaksi dengan orang tua menjadi faktor pendukung kesehatan mental anak. Kurangnya keterlibatan orang tua, dapat menurunkan kepuasan hidup anak. Selain itu, kehilangan peran ayah, akan membawa dampak negatif bagi perkembangan anak.(*)