Opini  

Patriarki Politik Kartini

Siti Ulfaati

Oleh: Siti Ulfaati
Anggota KPU Kabupaten Demak

SUDAH 119 tahun sejak R.A Kartini meninggal dunia dengan segala ide dan gagasannya. Dalam kurun waktu tersebut perjuangannya tentang emansipasi wanita telah berdiaspora di segala bidang. Hampir di setiap lini kita bisa melihat bahwa wanita mampu mempunyai konsep dan pemikiran berdikari sehingga menduduki jabatan-jabatan strategis.

Di dalam pemerintahan tersendiri, sebanyak 6 menteri  dari total 34 menteri dijabat oleh perempuan, yaitu I Gusti Ayu Bintang darmawanti sebagai menteri PPPA, Ida Fauziyah menjabat Menaker, Retno Marsudi sebagai Menteri LN, Siti Nurbaya Bakar menjabat Menteri LH dan Kehutanan, Sri Mulyani sebagai Menkeu dan Tri Rismaharini menjabat Mensos. Sementara itu di bidang legistatif, yaitu DPR RI, dari 575 anggota yang dilantik, 117 orang diwakili oleh perempuan (20,5%). Walaupun belum mencapai jumlah ideal kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30% yang diamanatkan dalam UU No 13 tahun 2003, tetapi jumlah tersebut meningkat 22% dari pemilu 2014 dimana 97 orang perempuan yang menduduki parlemen.

Kentalnya budaya patriarki politik yang terjadi pada zaman RA. Kartini ternyata  masih menjadi penghambat hingga saat ini walaupun teknologi sudah berkembang pesat. Budaya patriarki selalu berpendapat bahwa perempuan adalah kaum lemah dalam percaturan politik. Mereka sulit memperoleh legitimasi mandiri untuk bisa menghimpun kekuatan. Ranah perempuan selalu diidentikkan dengan urusan domestik sehingga mereka sulit untuk menjalin relasi dengan pihak luar. Jikapun terjadi komunikasi eksternal, peran perempuan tak lebih dari Brand Ambasador untuk media perkenalan kelompok tersebut, sehingga perilaku dan pemikirannya sudah disetting untuk kepentingan kelompok tersebut. Untuk penentu pengambilan keputusan kaum laki-laki masih dominan. Kalau dulu perempuan disimbolkan sebagai kasur, dapur dan sumur maka saat ini mengalami perluasan makna menjadi biologis dan historis. Di dalam diri wanita yang berdikari pasti masyarakat akan menganggap kesuksesan tersebut ada embel-embel berasal dari laki-laki yang mempunyai pengaruh besar, makna peyoratif seringkali menjadi melekat pada perjuangan perempuan tersebut.

Baca juga:  Kenapa Harus Jatman?

Megawati Soekarnoputri adalah contoh nyata patriarki politik masih terjadi secara nyata di Indonesia. Perempuan kelahiran 23 Januari 1947 tersebut mempunyai berbagai pengalaman menjadi Presiden Indonesia ke 5 pada tahun 2001-2004, kemudian wakil presiden Indonesia ke 8 pada tahun 1999-2001 dan saat ini menjabat ketua umum partai terbesar di negeri ini, yaitu PDIP sejak tahun 1999. Sungguh bagaimanapun Megawati berjuang sekuat tenaga untuk bisa mencapai posisi tersebut, tetapi masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa tanpa embel-embel Soekarno sebagai founding father, Megawati tidak bisa mencapai berbagai posisi tersebut. Hal ini tentunya menjadi pakem subyektif di masyarakat yang akan menghambat karier perempuan di Indonesia dan tentu saja menjadi semacam stigma negatif bagi Megawati itu sendiri.

Baca juga:  Seruan Moral dan Spiritual untuk PBNU Terkait Jatman

Hal ini dikarenakan secara biologis, megawati adalah putri pasangan Soekarno dengan Fatmawati merupakan suatu kebetulan karena dia tidak bisa memilih dari rahim mana dia dilahirkan, selain itu politik merupakan pilihan rasional Megawati. Konsistensinya sudah sangat teruji ketika memimpin PDIP selama 24 tahun. Tentunya hal tersebut bukan perkara yang mudah, apalagi ketika orde baru dimana PDI yang dipimpinnya dianggap ‘musuh’ oleh pemerintahan Soeharto selalu berusaha dihilangkan. Puncaknya ketika tanggal 27 Juli 1996 dimana masa yang dipimpin oleh Soerjadi menyerbu sekretariat PDI di jalan diponegoro yang mengakibatkan 5 orang tewas, 149 luka-luka dan 23 orang dinyatakan hilang. Waktu itu keberanian Megawati untuk memimpin PDI walaupun  digempur berbagai pihak merupakan bukti nyata perjuangan perempuan di bidang politik, bukan karena keturunan dari Soekarno

Dalam diskursus perjuangan RA. Kartini, dirinya masih menerapkan komunikasi sederhana dengan mengajarkan membaca dan menulis kepada wanita pribumi dengan harapan kelak di kemudian hari mereka bisa mempunyai pemikiran tersendiri, tetapi seiring dengan perkembangan zaman yang semakin komplek dimana berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin rumit, tentunya budaya-budaya primitif seperti patriarki yang membelenggu kaum perempuan bisa dikikis karena akan menghambat kemajuan bangsa untuk bisa bersaing dengan negara lain.

Baca juga:  Kenapa Harus Jatman?

Dalam konsep liberalisme yang saat ini dianut oleh sebagian besar negara-negara di dunia, peradaban sebuah bangsa ditentukan oleh pemikiran-pemikiran yang terhimpun dalam pasar bebas tanpa memandang ciri-ciri fisik. Hal itulah yang seharusnya bisa menjadi contoh nyata untuk dijadikan sebagai poros perjuangan bangsa. Bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah mengatur tentang persamaan hak asasi manusia dalam sila ke 2 yaitu ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ khususnya pengamalan nomor 2 sila ke 2 yaitu ‘mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya’

Jangan sampai di masa depan, perempuan-perempuan muda kita hanya mengenal emansipasi RA. Kartini hanya sebatas  mata pelajaran sejarah yang wajib dibaca pada saat sekolah dan tanggal 21 April sebagai hari kartini diperingati dengan memakai kebaya semata, karena ketika mereka memasuki usia dewasa dihadapkan dengan budaya patriarki yang masih sangat kental, kita semua harus memaknai bahwa perjuangan RA. Kartini harus mengikuti perkembangan zaman, semakin maju zaman berkembang, semakin banyak pula tantangan yang harus dihadapi kaum perempuan. Saat ini sudah saatnya perempuan diberi ruang tersendiri untuk menentukan nasibnya di bidang politik. (*)

Selamat hari Kartini