DI Desa Padurenan, yang terletak di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, telah lama dikenal sebagai sentra penghasil kue kering Sagon. Kue khas yang telah diproduksi sejak tahun 2000, tidak hanya memiliki cita rasa yang khas, tetapi juga daya tahan yang luar biasa. Hingga kini, Sagon tetap menjadi primadona, terutama pada saat perayaan Lebaran dan berbagai acara hajatan.
Proses pembuatan kue Sagon terbilang sederhana, namun membutuhkan ketelatenan dan keterampilan khusus. Bahan utama kue ini adalah kelapa parut yang telah diperas, kemudian disangrai hingga kering. Setelah itu, kelapa yang sudah disangrai ini dicampur dengan tepung ketan dan gula pasir, tanpa tambahan minyak.
“Proses pembuatan Sagon ini sebenarnya sangat sederhana. Namun, yang membuatnya berbeda adalah ketelatenan dalam setiap tahapannya. Kami tidak hanya mengandalkan resep, tetapi juga pengalaman dan hati dalam proses pembuatan,” kata Nur Khoiroh, salah satu pengusaha kue kering Sagon dengan merek Ahsan Jaya.
Adonan yang telah tercampur rata kemudian dicetak sesuai bentuk yang diinginkan dan dipanggang dalam oven. Proses pemanggangan ini membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit, dengan teknik pembalikan dua kali agar kue matang merata. Setelah dipanggang, kue Sagon akan mengeluarkan aroma yang menggugah selera, dengan tekstur yang renyah dan rasa yang manis gurih.
Salah satu keunggulan utama kue kering Sagon adalah daya tahannya yang luar biasa. Meski hanya menggunakan bahan-bahan alami tanpa pengawet, kue ini dapat bertahan hingga satu tahun jika disimpan dengan benar. Hal ini menjadikannya pilihan ideal sebagai oleh-oleh atau sajian tamu, terutama saat perayaan hari besar seperti lebaran.
“Setiap hari kami memproduksi sekitar 10 kilogram kue kering Sagon. Kami membuatnya dengan hati-hati agar kualitasnya tetap terjaga. Meskipun tanpa pengawet, kue ini bisa bertahan lama, hingga satu tahun. Itulah yang membuatnya istimewa,” ucapnya pengelola Ahsan Jaya yang sudah berpengalaman dalam memproduksi kue Sagon sejak awal berdirinya usaha ini.
Selain memiliki daya tahan yang lama, kue Sagon ini juga sangat terjangkau. Dengan harga sekitar Rp 25.000 per setengah kilogram, kue ini menjadi pilihan utama saat Lebaran. “Biasanya kue ini sangat dicari saat Lebaran, tapi juga sering dijadikan sajian saat ada tamu atau acara lainnya. Kami memang memproduksi setiap hari untuk memenuhi permintaan pasar,” tambahnya.
Tidak hanya dikenal di desanya sendiri, kue Sagon Padurenan kini telah merambah ke berbagai daerah di sekitarnya, termasuk Jepara dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Meskipun demikian, para produsen kue Sagon di Padurenan tetap menjaga kualitas dan cita rasa kue mereka agar tetap sesuai dengan tradisi yang sudah ada sejak lama.
Kue Sagon ini juga menjadi simbol warisan kuliner yang tak hanya bertahan dari waktu ke waktu, tetapi juga berkembang seiring dengan permintaan pasar yang semakin meningkat. Banyak konsumen yang memilih kue Sagon sebagai oleh-oleh khas Padurenan, baik untuk keluarga maupun teman-teman mereka. Namun, di balik kesuksesan produksi kue kering Sagon, ada tantangan yang harus dihadapi oleh para pengusaha kecil di Padurenan, salah satunya adalah keberlanjutan bahan baku. Kelapa yang menjadi bahan utama pembuatan kue Sagon harus terus tersedia dalam jumlah yang cukup agar proses produksi tidak terganggu.
“Ke depan, kami berharap ada upaya yang lebih besar untuk memastikan kelapa selalu tersedia. Kami ingin terus mempertahankan cita rasa asli kue Sagon dan bisa terus memenuhi permintaan pasar yang terus berkembang,” ujarnya.
Dalam upaya menjaga keberlanjutan usaha, pengusaha kue Sagon ini juga mulai mengembangkan inovasi produk, seperti varian rasa baru atau kemasan yang lebih menarik, untuk menarik minat konsumen yang lebih luas. Namun, mereka tetap berkomitmen pada kualitas dan tradisi yang sudah terbukti menghasilkan kue Sagon dengan cita rasa yang tak lekang oleh waktu. (uma/ree)