Oleh: KH. M. Said Ridwan
Masyayikh Lirboyo, Kediri
Habib Luthfi bin Yahya adalah mutiara berharga dalam perjalanan spiritual dan kebangsaan Indonesia. Keberadaan beliau di JATMAN bukan sekadar sebagai pemimpin, tetapi sebagai ruh yang menghidupkan nilai-nilai luhur tasawuf, cinta tanah air, dan kebersamaan. Langkah untuk menggeser beliau, apalagi disertai sikap permusuhan, adalah tindakan yang membawa kerugian besar bagi jam’iyyah Nahdlatul Ulama, baik secara spiritual, sosial, maupun strategis.
Pertama, Habib Luthfi adalah guru rohani yang kehadirannya menjadi pengobat hati bagi banyak umat. Beliau adalah seorang mursyid yang mampu menuntun manusia dari gelapnya hawa nafsu menuju cahaya kebenaran. KH. Idham Chalid, Ketua Tanfidziyah NU terlama, pernah menyebut Habib Luthfi sebagai “dokter spesialis penyakit hati,” sebuah pengakuan akan peran spiritual beliau yang tak tergantikan. Wasiat serupa juga diungkapkan oleh KH. Maimoen Zubair, yang menekankan bahwa selama Habib Luthfi masih ada, JATMAN harus terus berada di bawah kepemimpinannya.
Kedua, menggeser Habib Luthfi berarti menghilangkan sosok yang telah menjadi benteng utama dalam menjaga keutuhan NKRI. Sebagai ulama yang memperjuangkan cinta tanah air sebagai bagian dari iman, beliau tak kenal lelah menyatukan berbagai elemen bangsa, menumbuhkan kecintaan kepada negeri, dan mencegah perpecahan yang diakibatkan oleh ekstremisme. Kehilangan beliau di JATMAN akan melemahkan salah satu pilar utama NU dalam mempertahankan moderasi dan kebangsaan.
Ketiga, Habib Luthfi adalah tokoh spiritual yang diakui di tingkat dunia. Beliau dihormati oleh para mursyid dari berbagai tarekat internasional, menjadikan Indonesia sebagai pusat perhatian dunia dalam pengembangan tasawuf dan spiritualitas Islam. Menggeser beliau berarti kehilangan pengakuan dan penghormatan dunia terhadap NU sebagai wadah besar yang menaungi tokoh-tokoh kaliber global.
Keempat, Habib Luthfi adalah tokoh penyatu umat. Dengan kedalaman ilmu dan kebijaksanaannya, beliau mampu mendamaikan habaib dan ulama yang seringkali terjebak dalam konflik pemahaman. Sebagai keturunan Wali Songo, beliau memiliki legitimasi historis dan spiritual untuk menjadi juru damai yang dihormati oleh semua pihak. Menggeser beliau adalah membuka kembali luka-luka konflik yang selama ini telah berhasil beliau redam.
Kelima, Habib Luthfi adalah benteng terakhir melawan radikalisme dan ekstremisme. Beliau adalah simbol moderasi yang mampu menginspirasi umat untuk menjalani Islam dengan cinta kasih, jauh dari kekerasan dan kebencian. Kehilangan beliau di JATMAN adalah kerugian besar yang membuka celah bagi kelompok radikal untuk merusak tatanan yang telah beliau bangun dengan susah payah.
Menggeser Habib Luthfi dari JATMAN bukan hanya kesalahan strategi, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai luhur yang diperjuangkan NU. Jam’iyyah ini akan kehilangan ruh, wibawa, dan arah tanpa bimbingan beliau. Di saat para ulama dunia menaruh hormat pada kebijaksanaan beliau, sungguh ironi jika justru di dalam tubuh NU sendiri beliau tidak dihormati sebagaimana mestinya. Mari renungkan, apakah langkah ini sejalan dengan cita-cita besar Nahdlatul Ulama? Ataukah justru melemahkan rumah besar yang telah dibangun oleh para pendahulu dengan darah, keringat, dan doa? (*)